Pemajuan Kebudayaan Berbasis Komunitas
Kebijakan Pemajuan Kebudayaan dan Posisi Komunitas Budaya
Aturan kebijakan Pemajuan Kebudayaan Indonesia memberikan landasan normatif bagi peran komunitas budaya yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Peraturan tersebut menegaskan bahwa pemajuan kebudayaan dilaksanakan melalui perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan objek pemajuan kebudayaan. Kebijakan ini secara eksplisit mengakui peran masyarakat dan komunitas budaya sebagai pelaku utama pemajuan kebudayaan.
Komunitas budaya memiliki posisi strategis dalam implementasi kebijakan tersebut, khususnya pada aspek pembinaan dan pengembangan. Peningkatan kapasitas seniman dan kesenian yang dilakukan komunitas budaya sejalan dengan mandat pembinaan, yaitu upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk pemajuan kebudayaan. Melalui pendekatan berbasis komunitas, kebijakan pembinaan tidak berhenti pada pelatihan teknis, tetapi mencakup penguatan ekosistem dan keberlanjutan praktik kebudayaan. Sebenarnya inilah yang menjadi acuan pemerintah daerah atau badan kesenian daerah untuk lebih jauh melibatkan komunitas budaya daerah dalam membangun kebudayaan di Kalimantan Barat.
Selain itu, kebijakan pemajuan kebudayaan juga menekankan pentingnya partisipasi, keberagaman, dan keadilan budaya. Komunitas budaya, dengan kedekatannya pada konteks lokal, memiliki kemampuan untuk memastikan bahwa kebijakan kebudayaan tidak bersifat homogen dan sentralistik. Praktik peningkatan kapasitas yang dilakukan komunitas budaya dapat disesuaikan dengan karakteristik lokal, kebutuhan spesifik seniman, serta dinamika sosial setempat. Seniman atau komunitas dapat memantau perkembangan budaya sesuai kebutuhan zaman, sampai pada kebutuhan bagaimana cara mengangkat objek kebudayaan dalam pengkaryaan.
Dalam kerangka perencanaan pembangunan, dokumen seperti Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) dan Strategi Kebudayaan Nasional memberikan ruang bagi komunitas budaya untuk terlibat secara aktif. Komunitas budaya tidak hanya menjadi penerima manfaat kebijakan, tetapi juga produsen pengetahuan kebudayaan yang dapat memperkaya perumusan kebijakan berbasis data dan pengalaman lapangan. Namun sangat disayangkan, bahwa banyak komunitas budaya tidak dilibatkan dalam penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah. Sehingga pokok pikiran kebudayaan tersebut terkesan prematur dan akhirnya menjadi permasalahan tersendiri bagi percepatan pembangunan kebudayaan daerah.
Penghambat laju pembangunan kebudayaan daerah salah satunya adalah tidak melibatkan komunitas budaya. Ditambah lagi beberapa Kabupaten Kota di Kalimantan Barat terjebak dalam produk selebrasi dalam mewacanakan pemajuan kebudayaan, miskin pendokumentasian, tidak ada pencatatan perkembangan pada zamannya, dan terjebak dalam retorika penampilan kesenian saja. Selepas acara itu digelar, imbas pendidikan di masyarakat tidak dapat tersampaikan secara baik dan cenderung hilang begitu saja.
Praktik pemajuan kebudayaan di Kalimantan Barat dibangun untuk menjadi fondasi identitas, pengetahuan lokal, serta kohesi sosial masyarakat pemilik kebudayaan. Di tengah arus globalisasi, urbanisasi, dan komodifikasi budaya yang banyak terjadi di kota seperti Pontianak, banyak praktik kebudayaan menghadapi risiko degradasi makna, marginalisasi pelaku, hingga kepunahan. Oleh karena itu, penguatan ekosistem kebudayaan di Kalimantan Barat perlu dilakukan guna mendukung keberlanjutan praktik kebudayaan. Hal ini karena Kalimantan Barat memerlukan pendekatan yang tidak hanya berorientasi pada pelestarian simbolik, tetapi juga pada pemberdayaan aktor-aktor lokal. Pendekatan berbasis komunitas (community-based approach) menawarkan kerangka yang relevan karena menempatkan komunitas masyarakat sebagai subjek utama dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi praktik kebudayaan.
Konsep Ekosistem Komunitas Budaya
Ekosistem kebudayaan dapat dipahami sebagai jaringan dinamis yang melibatkan pelaku budaya, institusi adat, ruang ekspresi, sumber daya material dan immaterial, serta kebijakan yang memengaruhi keberlangsungan praktik budaya. Dalam ekosistem ini, keberlanjutan tidak hanya ditentukan oleh keberadaan artefak atau ritual, tetapi juga oleh relasi sosial, mekanisme transmisi, penyaluran pengetahuan antargenerasi, dan insentif ekonomi yang adil bagi pelaku budaya.
Pendekatan ekosistem menuntut pandangan holistik: praktik kebudayaan tidak berdiri sendiri, melainkan berkelindan dengan pendidikan, ekonomi kreatif, pariwisata, tata ruang, dan tata kelola pemerintahan. Tanpa penguatan pada seluruh unsur tersebut, upaya pelestarian berpotensi bersifat parsial dan cenderung tersekat-sekat. Pendekatan berbasis komunitas berangkat dari prinsip partisipasi bermakna, pengakuan pengetahuan lokal, dan distribusi manfaat yang adil. Komunitas budaya tidak diposisikan sebagai objek program, melainkan sebagai pemilik, pengelola, dan penjaga nilai-nilai kebudayaan.
Penguatan Ekosistem melalui Peran Komunitas Budaya
Karakteristik utama pendekatan berbasis komunitas budaya bersifat:
- Partisipasi aktif: Komunitas terlibat sejak tahap identifikasi masalah, perumusan tujuan, hingga pengambilan keputusan.
- Kontekstualitas: Program disesuaikan dengan nilai, sejarah, dan struktur sosial setempat.
- Pemberdayaan kapasitas: Penguatan keterampilan manajerial, dokumentasi, dan kewirausahaan budaya bagi pelaku lokal.
- Keberlanjutan sosial dan ekonomi: Praktik kebudayaan didukung oleh model ekonomi yang etis tanpa mengorbankan makna budaya.
Dalam konteks pemajuan kebudayaan berbasis komunitas, penguatan ekosistem kebudayaan dapat dilakukan melalui beberapa strategi kunci. Pertama, penguatan kelembagaan komunitas, seperti sanggar, kelompok adat, atau koperasi budaya, agar memiliki legitimasi dan kapasitas tata kelola yang memadai. Kedua, pengembangan ruang-ruang ekspresi budaya yang aman dan inklusif, baik ruang fisik maupun digital, untuk mendukung regenerasi pelaku budaya. Ketiga, integrasi praktik kebudayaan ke dalam sistem pendidikan lokal, baik formal maupun nonformal, guna memastikan transfer pengetahuan lintas generasi. Keempat, pengembangan jejaring kemitraan antara komunitas, pemerintah, akademisi, dan sektor swasta, dengan komunitas tetap memegang kendali atas narasi dan manfaat budaya.
Satu hal yang perlu di waspadai, bahwa pendekatan berbasis komunitas juga menghadapi tantangan, seperti keterbatasan sumber daya, konflik internal, serta risiko komersialisasi berlebihan. Untuk memitigasi risiko tersebut, diperlukan fasilitasi yang sensitif terhadap dinamika sosial, transparansi dalam pengelolaan sumber daya, serta kerangka etika yang melindungi hak kekayaan intelektual komunal. Disinilah peran pemerintah seperti Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XII, Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten Kota, Dinas Pemuda Olah Raga dan Pariwisata sebaiknya difokuskan pada penciptaan lingkungan pendukung (enabling environment), melalui regulasi, pendanaan berkelanjutan, dan pengakuan hukum terhadap komunitas budaya, tanpa mengambil alih otonomi komunitas.
Implementasi pendekatan berbasis komunitas, dapat ditinjau beberapa studi kasus yang merepresentasikan keberhasilan maupun tantangan di lapangan. Sebagai contoh pengelolaan desa adat di Bali, seperti Desa Penglipuran. Keberlanjutan praktik adat, arsitektur tradisional, dan ritual keagamaan di desa ini dijaga melalui sistem kelembagaan adat (desa pakraman) yang kuat, dengan partisipasi aktif warga dalam pengambilan keputusan. Aktivitas pariwisata dikembangkan dengan prinsip berbasis komunitas, di mana manfaat ekonomi didistribusikan secara kolektif dan diatur melalui kesepakatan adat, sehingga tidak menggerus nilai-nilai budaya inti. Nilai-nilai budaya diajarkan melalui teknis saluran literasi budaya setempat, dan setiap beberapa bulan sekali mengadakan
Studi kasus lain dapat ditemukan pada komunitas adat Baduy di Banten, yang mempertahankan praktik kebudayaan dan pengetahuan lokal melalui mekanisme kontrol sosial internal dan pembatasan interaksi dengan dunia luar. Meskipun pendekatan ini membatasi aspek ekonomi modern, keberlanjutan budaya terjaga karena komunitas memiliki otoritas penuh atas praktik, ruang hidup, dan sistem nilai mereka. Kasus ini menunjukkan bahwa keberlanjutan tidak selalu identik dengan integrasi pasar, melainkan dengan kedaulatan budaya komunitas.
Diranah urban kota Pontianak sudah harus dibangun kembali inisiatif mandiri dari komunitas untuk membangun kampung budaya yang bisa mencontoh beberapa kota besar Indonesia. Bisa juga membangun komunitas kecil berbasis pengorganisasian warga lokal yang harus didukun pemerintah secara berkelanjutan. Melalui sistem kerja pengorganisasian warga, dokumentasi sejarah lokal, dan revitalisasi seni tradisi, komunitas mampu menghidupkan kembali identitas budaya di tengah tekanan urbanisasi. Namun, kasus ini juga memperlihatkan tantangan gentrifikasi dan komodifikasi, yang memerlukan tata kelola partisipatif yang kuat agar komunitas tidak tersingkir dari ruang budayanya sendiri. Disinilah peran pemerintah untuk menjadi mediator lokal sehingga bisa mendukung komunitas tersebut berjalan dan dapat menghasilkan dokumentasi budaya lokal sesuai cita-cita dan harapan masyarakatnya.
Kesimpulan
Penguatan ekosistem dan keberlanjutan praktik pemajuan kebudayaan berbasis komunitas merupakan strategi yang berorientasi jangka panjang, dukungan berkelanjutan dan berkeadilan. Melalui dukungan kerangka teoretis yang kuat dan pembelajaran dari studi kasus konkret, pendekatan ini menunjukkan bahwa komunitas memiliki kapasitas untuk menjadi pengelola utama kebudayaannya sendiri. Dengan menempatkan komunitas sebagai aktor sentral, praktik kebudayaan tidak hanya lestari secara simbolik, tetapi juga adaptif, relevan, dan bermakna dalam dinamika sosial kontemporer. Inklusifitas akan menumbuhkan integrasi mandiri dan berkelanjutan, sehingga pembinaan, pengembangan, atau pemanfaatan kebudayaan dapat berlajan secara berkesinambungan.
atau mau beli alat musik Kalimantan?
LIHAT ALAT MUSIK DAYAK
LIHAT ALAT MUSIK MELAYU
Hubungi Admin: 0811 5686 886.


