Ukuran Font Artikel
Small
Medium
Large

Musik Kontemporer dalam Perspektif New Materialism

Musik Kontemporer

Musik Kontemporer sebagai Relasi Bunyi

Musik kontemporer merupakan salah satu medan praktik seni yang paling kompleks dan reflektif terhadap perubahan cara manusia memahami dunia. Berbeda dari musik klasik atau modern yang relatif stabil dalam sistem estetika, notasi, dan hierarki penciptaan, musik kontemporer justru menandai pergeseran radikal dalam cara bunyi diproduksi, dipahami, dan dialami. Bunyi tidak lagi semata-mata berfungsi sebagai medium ekspresi subjektivitas manusia, melainkan menjadi medan eksplorasi material, teknologi, tubuh, dan lingkungan.

Musik kontemporer merupakan medan artistik yang terus mengalami transformasi seiring perubahan teknologi, budaya, dan cara manusia memahami dunia material di sekitarnya. Berbeda dengan musik klasik atau modern yang sering kali terikat pada sistem notasi, bentuk, dan hierarki relasi absolute (komposer, karya, pendengar), musik kontemporer cenderung bersifat eksperimental, terbuka, dan lintas disiplin. Dalam konteks produksi artistik bunyi, musik kontemporer tidak lagi semata-mata dipahami sebagai objek estetis yang dihasilkan oleh subjek manusia, melainkan sebagai proses dinamis yang melibatkan berbagai aktor manusia dan material penghasil bunyi.

Pada pertengahan abad 20, muncul kebutuhan akan kerangka teoretis yang mampu menjelaskan musik kontemporer secara lebih komprehensif, melampaui pendekatan formalistik atau semiotik yang dominan dalam kajian musik barat. Salah satu pendekatan yang relevan adalah teori New Materialism, sebuah paradigma pemikiran yang menempatkan materi sebagai “entitas aktif dan berdaya”, serta menolak pemisahan tegas antara subjek dan objek, manusia dan material bunyi. Dengan mengintegrasikan gagasan tentang peran sentral materialitas, relasionalitas, dan proses pengkaryaan, terdapat sebuah berargumen bahwa musik kontemporer dapat dipahami sebagai praktik material yang melibatkan jaringan manusia, ruang, waktu, dan bunyi. Melalui pendekatan ini, musik tidak lagi diposisikan sebagai “karya” yang statis, tetapi sebagai peristiwa ontologis yang terus berlangsung, serta saling terkait secara dinamis dan simultan.

Pergeseran Paradigma Ontologis

New Materialism muncul sebagai respons kritis terhadap dominasi paradigma postmodern dan konstruktivisme sosial yang menempatkan bahasa, representasi, dan diskursus sebagai pusat pembentukan realitas. Dalam paradigma tersebut, dunia sering kali dipahami sebagai konstruksi simbolik manusia, sementara materi diperlakukan sebagai latar pasif. Sebuah pergesaran fragmentasi bunyi menjadi ontologi bunyi. Pergeseran ini dapat dipahami sebagai peralihan dari estetika representasional menuju estetika material-performatif. Musik kontemporer tidak lagi merepresentasikan sesuatu di luar dirinya, tetapi memperlihatkan bagaimana materi bunyi bekerja dalam jaringan relasi secara bebas dan simultan.

Para pemikir New Materialism, seperti Karen Barad, Jane Bennett, Rosi Braidotti, dan Manuel DeLanda, mengajukan kritik terhadap kecenderungan antroposentris ini. Mereka menekankan bahwa materi bukanlah entitas inert (pasif), melainkan memiliki kapasitas untuk bertindak, memengaruhi, dan berpartisipasi dalam pembentukan realitas. Dengan kata lain, dunia tidak hanya “ditafsirkan” oleh manusia, tetapi juga “bekerja” secara material. Artinya, material penghasil bunyi itu tidak hanya mengeluarkan bunyi pasif dan lurus sejajar secara logika umum musik pada umumnya, namun membentuk simpulan baru ketika terhubung dengan bunyi dari material lainnya, walau dalam konteks material bunyi tunggal. 

Sebagai contoh, ada seorang yang memainkan flute, lalu ada lagi orang ke 2 yang memainkan flute, maka relasi bunyi itu bergerak dinamis menghasilkan suara baru. Relasi flute 1 dan flute 2 bergerak dinamis dan akan melahirkan warna bunyi baru. Pengertian relasi ini sering diartikan sebagai harmoni, sementara dalam pengertian new materialism, bunyi dari flute 1 dan flute dua masing-masing difahami sebagai entitas yang juga akan berubah, karena saling mempengaruhi dan terus saja berubah karena karakter bunyi bersifat dinamis. Walau bahasan perubahan warna bunyi karena hasil saling mempengaruhi, entitas tetap bergerak dinamis. Belum lagi ketika terakumulasi dalam konteks manusia, ruang, waktu, dan bunyi sebagai kesatuan relasi secara utuh dan simultan.

Karen Barad, melalui konsep agential realism, menawarkan pemahaman ontologi relasional di mana entitas tidak mendahului relasi. Konsep intra-action yang ia kembangkan menegaskan bahwa subjek dan objek tidak ada secara independen, melainkan terbentuk melalui relasi material yang spesifik. Dalam konteks ini, manusia tidak lagi menjadi pusat epistemologis, melainkan bagian dari jaringan relasi material yang lebih luas. Bunyi bukan hanya dipersepsi sebagai hasil dari tindakan manusia, tetapi fenomena fisik yang melibatkan alat, getaran, medium, dan lingkungan. Getaran bunyi bergerak melalui udara, gelombang yang berinteraksi melalui relasi, dan memengaruhi tubuh pendengar secara langsung. 

Dalam banyak karya, bunyi tidak sepenuhnya dapat diprediksi atau dikontrol. Feedback, noise elektronik, dan fenomena akustik ruang menjadi bagian integral dari komposisi. Hal ini menunjukkan bahwa materi bunyi memiliki kapasitas untuk “melawan” persepsi manusia secara umum. Pemikiran ini akhirnya membalik logika umum tentang musik yang membatasi musik dalam kendali dan penguasaan komposisi. Komposer tidak lagi diposisikan sebagai subjek yang sepenuhnya berdaulat, melainkan sebagai “fasilitator” proses material. Musik muncul sebagai hasil negosiasi antara kehendak (pencarian), bunyi (eksplorasi), ruang (dialektika bunyi dan distorsi), dan peran manusia itu sendiri (sebagai pemain dan pendengar). Tidak ada dikotomi, namun relasi dalam ruang dan waktu yang melahirkan keadaan bunyi.

musik kontemporer dalam prespektif new material

Jane Bennett memperkuat argumen ini melalui konsep vibrant matter, yang menekankan vitalitas dan daya kerja benda-benda material. Benda-benda non-manusia, termasuk teknologi dan medium artistik, memiliki pengaruh nyata dalam membentuk peristiwa dan pengalaman. Paradigma ini membawa implikasi signifikan bagi kajian seni dan musik, terutama musik kontemporer yang secara eksplisit berurusan dengan materialitas bunyi dan teknologi. Akhirnya musik kontemporer tidak dapat dipahami sebagai satu gaya atau aliran tunggal. Istilah ini mencakup spektrum praktik yang luas, mulai dari musik eksperimental, elektroakustik, musik elektronik, sound art, hingga praktik improvisasi dan seni bunyi berbasis instalasi. Namun, di balik keragamannya, musik kontemporer memiliki benang merah berupa penolakan terhadap paradigma representasional.

Ruang dan Ekologi Bunyi

Dalam tatanan musik secara umum, bunyi sering dipahami sebagai representasi ide musikal yang telah dirancang sebelumnya oleh komposer. Partitur menjadi pusat narasi otoritas, sementara bunyi aktual dianggap sebagai realisasi dari struktur otoritas tersebut. Musik kontemporer, sebaliknya, sering kali menggeser fokus dari struktur otoritas menuju fenomena bunyi itu sendiri. Dia tidak mementingkan susunan bentuk, walau kadang sengaja disusun, namun otoritas bunyi tidak terikat keharusan (aturan). Dia bergerak bebas, bahkan liar, sampai menjumpai relasi antar bunyi itu sendiri. Eksplorasi noise, distorsi, resonansi, dan ketidakteraturan menunjukkan bahwa musik kontemporer tidak berusaha “menjinakkan atau menyederhanakan” bunyi berdasarkan susunan dari keinginan komposer, melainkan membiarkan karakter materialnya tampil secara eksplisit. Bunyi diperlakukan sebagai materi yang memiliki kecenderungan, resistensi, dan potensi sendiri.

Kemandirian bunyi yang bergerak bebas, dalam konteks New Materialism, dapat dipahami sebagai peralihan dari estetika representasional menuju estetika material-performatif. Musik tidak lagi merepresentasikan sesuatu di luar dirinya, tetapi memperlihatkan bagaimana materi bunyi bekerja dalam jaringan relasi tertentu. Bagaimana bunyi menjadi relasi komunal dari tubuh, ruang, dan bunyi itu sendiri. Artinya, bunyi bukan hanya hasil dari tindakan manusia, tetapi fenomena fisik yang melibatkan getaran, medium, dan lingkungan. Getaran bunyi bergerak, berinteraksi, dan saling mempengaruhi dalam dimensi ruang, waktu, dan manusia.

Ruang merupakan elemen material yang sering kali diabaikan dalam kajian musik secara umum. Dalam musik kontemporer, ruang justru menjadi bagian aktif dari komposisi. Akustik ruang, resonansi, dan distribusi spasial bunyi memengaruhi bagaimana musik terdengar dan dialami. Dalam sound art dan instalasi bunyi, ruang bahkan menjadi “instrumen” utama. Musik tidak lagi terjadi dalam waktu linear semata, tetapi juga dalam dimensi spasial. Pendengar bergerak di dalam medan bunyi, mengalami perubahan relasi material secara langsung. 

Pendekatan ini sejalan dengan New Materialism yang menekankan relasi ekologis antara entitas material. Musik kontemporer dapat dipahami sebagai praktik ekologis yang melibatkan bunyi, ruang, teknologi, dan tubuh dalam satu jaringan relasional. Musik kontemporer berimplikasi akhirnya melahirkan persepsi baru, bahwa musik dipandang sebagai penomena keadaan dan kejadian sekaligus, fenomena bunyi tidak lagi disandarkan “apa bentuk musiknya”, tetapi pada “bagaimana musik terjadi”. Dengan mengakui agensi materi, musik dipahami sebagai praktik yang melibatkan tanggung jawab terhadap lingkungan material dan teknologi. Secara eksplisit, konsep New Materialism dalam musik kontemporer mengemukakan wacana estetika dengan menekankan performativitas dan relasionalitas. Musik tidak lagi diposisikan sebagai objek estetis yang otonom, tetapi sebagai peristiwa yang terus membentuk dan dibentuk oleh dunia material.

Kesimpulan

Musik kontemporer, ketika dibaca melalui perspektif New Materialism, dapat dipahami sebagai praktik material yang melibatkan jaringan relasi kompleks antara manusia dan material bunyi. Bunyi, teknologi, tubuh,waktu dan ruang tidak lagi diperlakukan sebagai elemen pasif, melainkan sebagai aktor yang memiliki agensi dalam pembentukan peristiwa musikal. Musik kontemporer, tidak hanya difahami sebagai bentuk seni teratur dan mementingkan keteraturan, tetapi bagaimana cara dunia material “bersuara”. Dengan demikian, New Materialism tidak hanya memandang musik kontemporer sebagai kerangka teoretis baku, tetapi juga sebagai lensa ontologis untuk memahami musik sebagai bagian dari kehidupan material yang terus berubah.

Traktir Mbah Dinan kopi klik di sini
atau mau beli alat musik Kalimantan?
LIHAT ALAT MUSIK DAYAK
LIHAT ALAT MUSIK MELAYU
Hubungi Admin: 0811 5686 886.
Posting Komentar