Budi Kurniawan SapeCaster Digital Print, 120x120cm Pontianak 2024 |
Itulah pakem dalam musik tradisi yang menjadi ciri dari mana musik tersebut berasal. Pakem pulalah yang menjadi ciri kesukuan dalam suatu kebudayaan. Pakem inilah yang tidak boleh dihilangkan, karena menghilangkan ciri dari suatu tradisi sama saja menenggelamkan tradisi tersebut dalam jurang keterasingan. Silahkan dikembangkan, namun esensi dari musik tradisi itu jangan sampai hilang. Itulah keaslian sebuah tradisi, warisan budaya satu-satunya yang kita miliki dan tidak akan pernah sama dengan kebudayaan ditempat lainnya.
Kebanyakan musik Sape dikembangkan merujuk pada penyesuaian. Sampai ranah ini, musik banyak dirubah dengan berbagai eksperimentasi bunyi. Elemen musik tidak lagi berbicara tentang logika kesukuan, namun bicara tentang ranah modernisasi dan penyesuaian kebutuhan. Pola dan teknik permainan semakin berkembang luas, baik yang terjadi pada wilayah nada, teknik permainan, dan penambahan efek suara. Musik Sape lebih ditata untuk kebutuhan ekplorasi bunyi. Pengembangan ini sebenaranya sah-sah saja dilakukan, namun yang perlu diingat, bahwa dalam semua permainan kita juga perlu melihat keaslian tradisinya, agar pengembangan tidak menghilangkan secara menyeluruh bentuk musik dan nilai yang ada didalamnya.
Semua seniman pasti perlu pengembangan untuk menjelajah wilayah eksperimentasi. Semua orang tidak menolak perkembangan tersebut, namun pijakan juga harus jelas, agar apa yang disajikan dapat dipertanggungjawabkan. Bukan hanya diambil, dipakai, dirubah, dieksplorasi menjadi baru, namun melupakan asal dimana musik itu lahir dan berkembang.
Perlu kita fahami bahwa musik sape dan segala ornamentasinya berhubungan erat dengan masyarakat sebagai suatu kebulatan konsep hidup yang berbudaya dan berperadaban. Musik sape tidak lahir dengan sendirinya. Dia lahir dari alam pikir masyarakat, dimana pemikiran seniman jaman dulu menghubungkan bunyi dengan nilai-nilai hidup yang ada di masyarakatnya. Hubungan antara adat dalam pranata sosial diterjemahkan dalam bunyi, sampai menjadi musik utuh yang dapat menggambarkan konsep kebudayaan dalam pemikiran mereka.
Sebuah susunan bunyi yang kita anggap musik tidak terlahir dalam ruang khayali. Jaman dulu setiap musik tradisi mempunyai hubungan dengan keagungan adat dan tradisi. Banyak musik tradiri lahir sebagai pernyataan penghormatan, peng-agungan, dan keterhubungan manusia dengan alam transenden. Walau konsep lahirnya musik sebagai tradisi terjadi dalam bingkai kesederhanaan, namun untuk menyatakan keterkaitan hubungan masyarakat dengan alam leluhur melalui berbagai kontemplasi batiniah. Sampai musik itu lahir dan dipertunjukkan, maka lahir pula pengakuan dan kesepakatan bahwa musik adalah kehidupan mereka.
Pandangan kesakralan hidup ditengah masyarakat tidak dapat dijabarkan sebatas keanehan atau kejadian diluar nalar. Kesakralan adalah kehidupan tersendiri yang ada ditengah kehidupan masyarakat tradisional. Untuk masuk atau terhubung dengan kesakralan itu tidak dapat dibahasakan dengan bahasa keseharian. Ketika menghubungi dunia transenden tersebut harus menggunakan bahasa halus atau bahasa diluar kelaziman namun dipandang indah, baik itu melalui gerak, bunyi, sampai pada bahasa yang tidak biasa. Dapat kita lihat melalui tradisi Niru, Talima, Dayung (tradisi vokal Dayak Kayaan Mendalapm), menari sebagai bahasa simbol penyampaian hasrat, dan musik sape sebagai bahasa keagungan. Termasuk juga baju adat sebagai penghormatan dalam dialektika sosial kesukuan. Semua itu bertujuan sama, penghormatan.
Habatnya seniman jaman dulu tidak hanya memaknai musik mereka sebagai hiburan belaka. Mereka memaknai susunan bunyi (musik) sebagai lambang penghormatan kepada alam dengan segala kesakralannya. Nilai kesakralan ini tidak akan pernah sama diantara budaya satu dengan budaya lainnya. Inilah yang lahir menjadi cirikhas dengan segala karakter kesukuan. Bagian nilai inilah yang seharusnya difahami oleh banyak orang agar ketika dikembang tidak dihilangkan.
Tradisi apapun dan dimanapun bisa saja dikembangkan dan layaknya harus dikembangkan. Sah-sah saja ketika seniman merubah bentuk dalam koridor kelayakan. Namun jejak kesakralan harus tetap berada dijalurnya. Artinya tidak melanggar kaidah khusus (pakem) dari tradisi tersebut. Merombak pakem secara membabi buta akan menghilangkan nilai kesukuan itu sendiri. Sementara nilai kesakralan adalah penghormatan mereka akan alam, adat, dan budayanya yang terikat utuh menjadi kehidupan. Ingat! Mengembangkan tradisi itu bebas, namun tidak bablas. Jangan sampai gara-gara dikembangkan kebudayaan dikaburkan.
Dilematika sape jaman sekarang tidak lagi sakral seperti dulu. Sape hanya dipandang sebagai alat musik biasa, sebagai pajangan, dan kadang sebagai status kolegia dikalangan seniman. Seperti apa yang digambarkan Budi Kurniawan dalam karya grafisnya berjudul “Sapecaster”. Dia menggambarkan alat musik Sape yang sekarang jarang diminati dan cenderung ditinggalkan. Kondisinya sekarang musik Sape di Kalbar lebih banyak dikembangkan namun tidak menyentuh keaslian tradisinya. Lambat laun dan semakin berkembangnya jaman, akhirnya banyak generasi yang tidak memahami nilai kesakralan alat musik tersebut. Degradasi nilai akhirnya dibiarkan karena “terpaksa” ketika disandingkan dengan kata inovasi dalam pengembangan. Sampai sekarang mungkin tidak lagi sape itu sakral, walau tetap indah dalam nuansa modernitas yang membingungkan. Kegelisahan Budi Kurniawan dirasakan juga oleh seniman musik tradisi Kalbar. Akhirnya beberapa seniman bergerak untuk melestarikannya. Sampai disini pengembangan memang dilakukan namun kehilangan jejak tradisinya.
Budi Kurniawan bukan seorang yang menutup mata ketika budaya ditinggalkan. Mungkin saja “eks-tradisi” sape sekarang hanya tinggal kenangan dan menjadi hiasan sejarah. Akhirnya seorang Budi Kurniawan merangkai kembali menjadi karya seni sebagai gambaran kegelisahan. Dia mewujudkan realitas Sape menjadi “ekstra-tradisi”, yaitu sebuah wujud baru ditengah galaunya pemikiran akan tradisi sebenarnya. Dia lebih memilih melukiskan makna kegelisahan tentang tradisi yang sekarang hilang dari ingatan.
Budi Kurniawan bukan sosok penolak modernitas. Dia hanya ingin merangkum kenangan Sape dalam dialektika jaman, berkisah pada penyaksi karya tentang kenyataan tradisi dan nilai-nilai lama. Berkisah tentang ide romantisme dengan segala kenaifannya. Lalu menyadur kenangan tersebut dalam kontemplasi dan jiwa kekinian. Dia tetap mempertahankan tradisi lama ditengah galaunya pencarian bentuk tradisi asli oleh kebanyakan seniman Pontianak. Dia tidak mau terpengaruh segala macam kerumitan tentang tradisi itu, namun dia hanya ingin jujur, bahwa sape adalah bahasa rindu dan kekaguman yang tidak akan pernah sama ketika dirasakan semua orang. Sayangnya tradisi ini semakin sepi ditengah ramainya perkembangan musik di Kalimantan Barat.
Mungkin apa yang dirasakan oleh Budi Kurniawan sekarang juga kita rasakan, namun jarang terpikirkan oleh orang kabanyakan. Tradisi kesukuan terhimpit prestise kekaryaan dan kebanyakan meninggalkan keaslian. Sape jaman sekarang tidak ubahnya sebagai jargon propaganda revitalisasi pemikiran kompleks para budayawan dan seniman. Berbagai konsep rekonstruksi bukan membuat batasan yang jelas, malah melanggar batas-batas. Nilai budaya mulai digilas, pakem tradisi mulai dilibas, nilai kesukuan mulai diperas, lalu tradisi dihidupkan lagi dalam bentuk baru yang terlahir dari ampas.
Mungkin suatu saat nanti, tradisi dihidupkan kembali menjadi hantu dalam bentuk kekinian. Menjadi zombie peradaban ditengah budaya kota yang kebingungan. Sementara otak kita sudah mencapai limitasi, menjadi delusi ketika memandang tradisi dalam wajah modernisasi. Saat ini tradisi dilahirkan kembali tanpa jati diri.
atau mau beli alat musik Kalimantan?
LIHAT ALAT MUSIK DAYAK
Hubungi Admin: 0811 5686 886.