Menyemai Semangat Seniman KalBar Skip to main content

Menyemai Semangat Seniman KalBar

Menyemai Semangat Seniman Kalbar

Catatan ringan untuk seniman Kalbar
Oleh I Gede Arya Sucitra


Kreativitas seorang seniman tidak pernah dibatasi oleh ruang dan waktu. Seniman memiliki kepekaan dalam menanggapi berbagai kondisi dan peristiwa sehingga memberikan berbagai stimulus kreatif untuk diwujudkan menjadi karya seni. Semua benda, objek apapun dan kejadian sehari-hari menjadi ladang latihan ‘persepsi seni’ bagi insan kreatif. Tentu untuk mencapai tahapan ‘rasa’ bagi persepsi seni ini, seniman harus terus menerus mengasah keterampilan teknik, pengenalan berbagai macam medium dan media lukisan, teori-literatur seni, mengolah berbagai macam wacana seni, maupun berbagai peristiwa keseharian menjadi satu kesatuan ‘ide kreatif’ dalam lukisan. Hal-hal tersebut bisa didapatkan dari dunia interaksi keseharian di masyarakat, dunia pendidikan, dunia studio-studio seni seniman yang sudah terakui, pameran seni rupa, hingga kompetisi seni. Bukankah banyak jalan menuju Roma, banyak persimpangan tiga dan empat menuju ibu kota. Semua rute adalah pilihan kita menuju ‘itu’. Seni adalah ‘itu’ yang sangat misterius, setiap orang mencapai ‘itu-keindahan-ketakjuban’ dengan cara, pola, teknik, dan ekspresi yang berbeda-beda. Sangat beragam, plural dan semua akan menemukan muaranya untuk diakui menjadi ‘seni’ ‘seniman’ oleh masyarakat pendukungnya. 

Kali ini, masyarakat pendukung seni di KalBar membutuhkan ‘seni-seniman’ yang bisa dijadikan ‘rujukan-pengakuan’ akan capaian dan prestasi para seniman kebanggan daerah mereka. Pemenuhan kebutuhan ‘seni-masyarakat’ ini hanya bisa dicapai dengan kerja sama yang apik dan solid dari perupa-perupa KalBar. Salah satunya dengan intens membuat pameran seni, dengan kualitas karya yang terukur aspek artistik dan estetikanya. Bisakah dimensi seni diukur dan ditakar? Dalam dunia akademik dan filsafat seni-estetika tentu bisa dijabarkan dan diargumentasikan dengan jelas. Tapi jika menyangkut ukuran ‘selera indah subjektif’, maka akan dikembalikan pada kemampuan pemaknaan masing-masing personal penikmat seni.

Mengapa harus diadakan kompetisi seni lalu dipamerkan hasilnya kepada masyarakat luas? Apa karya harus ‘indah’, ‘bagus’, dan ‘menarik’ yang boleh dan layak dipamerkan? Apakah karya hasil kompetisi adalah ‘mutlak’ yang terbaik dari seniman yang terseleksi? Apakah yang tidak lolos seleksi adalah yang berpotensi rendah dan bukan ‘seni’? Maka, akan ada ratusan pertanyaan yang bisa disusun atas berbagai potensi positif-negatif yang bisa dinegasikan terkait ‘mengapa ada kompetisi seni’.

Dalam dinamika dunia seni, maupun filsafat seni, semakin banyak pertanyaan kritis, itu artinya setiap yang mengajukan pertanyaan sudah melakukan yang namanya ‘seni kontemplatif’, seni merenungkan berbagai peristiwa sehingga memunculkan berbagai gangguan yang menghasilkan pertanyaan-pertanyaan diri. Sebagaimana halnya manusia sebagai mahluk yang ‘dipenuhi hasrat ego’ dan ‘mahluk yang berpikir’ maka akan terus mencari jawaban-jawaban yang bisa memuaskannya. “Itu bagus, sungguh bagus. Artinya kita menggunakan anugerah Tuhan yang paling mulia dari organ tubuh manusia yakni otak; untuk merespons, dan berpikir serta menyimpulkan”, bagi saya itu menarik sekali. 

Terlibat dan mengadakan sebuah kompetisi bukan juga tanpa resiko. Saya memahami ‘urat-urat’ tarikan-tegangan teman-teman penyelenggara dan para peserta khususnya. Saya telah puluhan tahun terlibat dalam berbagai bentuk kompetisi baik sebagai pesertanya, sering juga berperan sebagai penyelenggara dengan scope nasional, hingga menjadi juri berbagai kompetisi seni dari tingkat RT hingga Nasional, dari kepesertaan anak SD hingga seniman profesional. Apa semua pihak bisa dipuaskan dalam bingkai ‘hasil akhir penjurian’ kompetisi?Hehehehe…. 

Mari saya tanya ulang balik, apakah kita bisa memuaskan hasrat setiap orang? Bahkan jika dibalikkan secara kontemplatif (merenung mendalam secara tulus dan terarah) ke dalam ‘bilik kedirian’ kita sendiri; apakah kita sudah mampu sepenuhnya memuaskan diri kita, pikiran kita, batin kita, hasrat kita, ego kita, kebutuhan harian kita, impian kita, dan banyak ‘kita-kita’ lainnya? Kebisajadian ‘pemenuhan akan sesuatu’ itu adalah pilihan kedewasaan kita atas situasional ‘ruang-waktu-kondisi’ dan tentunya juga adanya kesempatan.

Kompetisi seni memberikan kesempatan bagi seniman untuk memperluas jaringan profesional  mereka dengan berinteraksi dengan sesama peserta, juri, dan penyelenggara. Jaringan ini dapat menghasilkan dukungan, bantuan, atau peluang kolaborasi di masa depan. Mengikuti kompetisi seni dapat menjadi sumber motivasi bagi seniman untuk mendorong diri mereka mencapai standar yang lebih tinggi dan menciptakan karya berkualitas. Pengakuan yang diterima dari penghargaan dan kesuksesan dalam kompetisi juga dapat meningkatkan kepercayaan diri dan kebanggaan dalam diri seorang seniman. Bukankah ini juga merupakan bagian dari capaian eksistensi seni seniman di era global kontemporer dan membangun publikasi atau promosi kepada pecinta seni lainnya.

Jadi, kompetisi seni apalagi yang diadakan secara kolektif oleh beberapa seniman yang tergerak untuk membangun ekosistem yang lebih tertata dan terstruktur sehingga lebih mudah melakukan perluasan dan pengenalan potensi ‘local genius’ daerahnya masing-masing, merupakan langkah yang patut diapresiasi, didukung dan diwadahi. Bagaimanapun juga mengikuti kompetisi seni memiliki banyak dampak positif bagi seorang seniman. Ini tidak hanya membantu mereka mengembangkan keterampilan, visibilitas, dan jaringan mereka tetapi juga memberi mereka kesempatan untuk menjadi lebih percaya diri dan termotivasi dalam mengejar karier artistik mereka. 

Menyemai Semangat Seniman KalBar

Selamat berpameran 19 perupa Kalimantan Barat, terseleksi dari puluhan calon peserta yang mengajukan proposal karya. Proses seleksi pameran oleh kami tim seleksi hanyalah salah satu cara kita menakar kapasitas ‘serius-tidaknya’ seorang perupa memahami dan menginterpretasikan berbagai ketentuan yang ada. ‘Keseriusan’ ini memiliki dampak terhadap bagaimana peserta betul-betul meluangkan waktu meresapi berbagai ketentuan teknis dan utamanya terhadap aspek artistik presentasi ‘tema’ kompetisi. Tidak ada hal yang ‘sekadarnya’ dalam seni dan pengetahuan yang dimilikinya. Daya tafsir terhadap teknis karya dan penciptaan lukisan inilah yang menjadi wajah ‘kecerdasan artistiknya’ seniman menampilkan dirinya pada publik seni menjadi karya pribadi yang menarik, khas, harmonis, dan juga indah. Jika sudah dipamerkan karya yang ‘menggugah rasa’ indah kepada publik seni, bukankah akan timbul rasa sayang dan suka. Kalau sudah ‘suka dan sayang’ terhadap karya seni dan senimannya, maka kehidupan kesenian akan berkembang, bergenerasi, dan harmonis, penuh kedamaian. Indah bukan? Yups, sungguh menyenangkan.

Seni adalah tempat dimana semua orang adalah setara, sederajat, dan kemuliaan dari keindahan ‘rasa-batin’ anugerah semesta.  Tuhan akan suka orang-orang yang mencintai keindahan. Apapaun bentuk jenis presentasi gaya, model, corak ‘keindahan’ itu; seni musik, seni suara, sastra, teater, tari, lukisan, patung, seni ornamen, fotografi, video seni, dll. Seni akan tetap seni, indah akan tetap indah, baik akan tetap baik, kebenaran akan tetap menemukan jalan yang benar. Tidak ada yang ‘salah’ dalam jalan seni, karena jalan seni adalah jalan keberagaman, multikultur, yang sebenarnya mengajarkan manusia memahami hubungan baik antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan, dengan jalan keharmonisan dan cinta kasih.

Yogyakarta, 10 Oktober 2023
I Gede Arya Sucitra
(Pelukis dan Dosen Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta)

Mau beli alat musik Kalimantan?
LIHAT ALAT MUSIK DAYAK
Hubungi Admin: 0811 5686 886.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar