Ukuran Font Artikel
Small
Medium
Large

Kapan Nikah?

Tari KAPAN NIKAH karya Budi Jak

Kurasi Karya Tari “KAPAN NIKAH?”

Pertunjukan ini dibawakan oleh UKM Sarang Semut, yaitu unit kegiatan pengembangan seni mahasiswa Universitas Tanjungpura Pontianak. Karya “Kapan Nikah?” digarap oleh Budi, M. Sn., seorang seniman Kalimantan Barat yang sampai sekarang masih aktif berkesenian. Musik digarap oleh Ferdinan, S. Sn., (Mbah Dinan) seniman musik dan penulis Kalimantan Barat. Pertunjukan karya akan dilaksanakan tanggal 3 dan 4 Juni 2025 di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Provinsi Kalimantan Barat.

"Kapan Nikah?" Sebuah pertanyaan ringan namun menyakitkan, bahkan menyudutkan wanita dalam dilematik cinta dan kehidupan.  

Pertanyaan Ringan Tapi Menyakitkan

Di balik segelas teh manis dalam acara keluarga, disela kopi kental ngobrol bersama teman dan kolega, ditengah keasikan sajian pisang goreng yang kadang tidak diperdulikan, terselip sebuah tanya yang sering dilontarkan dengan tawa ringan dan tatapan ingin tahu, "Kapan nikah?" Kalimat itu ringan, seperti gurauan yang lahir dari kehangatan, atau sekadar basa-basi untuk mengisi hening disela percakapan. Namun siapa sangka, dibalik ringan bibir yang melafalkan, ada badai yang bisa mengoyak batin mereka yang mendengarnya. Saat dimana pertanyaan itu menjadi beban ketika seseorang memilih hidup sendiri karena suatu alasan.

Pertanyaan “Kapan Nikah?” tidak sekadar menyoal tanggal, tidak pula sesederhana menanyakan kabar. Ia adalah jendela kecil menuju jurang ekspektasi, dilematik pilihan diantara norma sosial, dan luka pribadi yang tak selalu tampak dipermukaan, tersembunyi dalam remangnya ketakutan. Dan sungguh, karena tidak setiap hati siap ditengok luka-lukanya oleh mata orang terdekat dalam kehidupannya.

Ada jiwa-jiwa yang memilih sendiri, bukan karena tak ingin berdua, melainkan karena sedang membalut luka hati yang belum mengering. Ada pula yang masih menunggu, bukan karena terlalu memilih, melainkan karena belum dipilih oleh orang yang bisa menghargai cintanya, lalu ragu datang menghampiri, seakan terselip pada pelaminan. Sebuah dilematik kehidupan yang mungkin akan menghambat cita-cita perempuan, atau kesakitan yang selama ini tidak dapat diungkap bahkan oleh kesunyian sekalipun. Namun di tengah masyarakat yang menjadikan pernikahan sebagai mahkota kehidupan, wanita yang belum menikah sering kali dipertanyakan, seringkali diposisikan sebagai ketidak laziman, bahkan dianggap aneh dengan persepsi miring yang beragam. 

Belajar Mempercayai Cinta

Perempuan dalam kondisi sosial dibanyak kota di Indonesia, khususnya, sering merasakan tekanan paling berat. Ia ditanya seolah rahimnya punya tenggat waktu dan ada masa kadaluarsa. Dijejali dengan berbagai iba jika umur mulai beranjak tua, seakan setiap detik yang berlalu adalah kegagalan untuk menjadi perempuan seutuhnya. Sementara ia mungkin tengah merajut mimpinya sendiri, membangun dunia dengan tangan sendiri, atau sekadar masih belajar mempercayai cinta setelah hatinya dihancurkan. Sisi inilah yang jarang disadari atau ditangkap masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Tidak perduli, ternyata ada sosok perempuan yang masih berjuang untuk hidup dan memahami cinta lebih dalam, namun dipaksa harus berpindah pada status sosial pernikahan tanpa mau peduli pada lautan permasalahan dibaliknya.

Tari KAPAN NIKAH? karya Budi Jak

Fenomena dibalik pertanyaan ringan dan “dipaksakan” umum inilah, Budi Jak, seorang seniman tari Pontianak menggugat pertanyaan remeh, “kapan nikah?” untuk dipikir ulang. Budi Jak menjajaki fenomena untuk mewakili perasaan wanita dengan kesakitan tersembunyi, dengan keterpurukan status wani yang belum menikah diantara keramaian umum, dan mengajak untuk memahami berbagai alasan dibaliknya. Seorang Budi Jak tidak tidak mempersepsi pertanyaan ringan itu hanya sebagai pengisi basa basi dalam banyak pertemuan. Dia mencoba menyuarakan kegelisahan hati yang tidak bisa difahami oleh banyak orang dan cenderung luput dari perhatian. 

Pertunjukan karya tari yang bercerita tentang kehidupan wanita yang merasa risih ketika ditanyakan “Kapan Nikah?” Dibalik karya kreatif yang diolahnya, seorang Budi Jak menyampaikan perasaan wanita yang dipaksa untuk mencapai standar sosial yang belum tentu sesuai dengan keinginan dan kesiapan mereka. Pada sisi lain, pertanyaan ini bisa menimbulkan ketidak nyamanan ketika wanita merasa belum mapan secara finansial, atau belum siap secara mental. Tekanan ini bisa berubah menjadi stres berkepanjangan, terutama jika pertanyaan tersebut sering diulang oleh lingkungan keluarga, teman, dan tetangga.

Kearns, M., & Fincham, F. D. (2005) mengatakan dalam tulisan ilmuahnya tentang tekanan sosial terhadap pernikahan dengan tingkat stres, rasa tidak berharga, dan kecemasan pada individu lajang. Banyak wanita menganggap pertanyaan ini sangat mengganggu ruang pribadi, walau hanya sekedar candaan. Lebih dalam lagi, pertanyaan "Kapan Nikah" bisa dianggap menjadi konteks penindasan mental yang berakibat timbul keraguan pada pilihan hidup atau nilai diri sendiri, merasa “tertinggal” dalam pergaulan sosial. Delematik pilihan melahirkan posesifisme, sebuah kebingungan memilih antara keinginan untuk memenuhi ekspektasi sosial atau mengikuti cita-cita pribadi. Rasa marah, malu, atau frustrasi, akan datang menghantui, terutama jika mereka sedang mengalami hubungan yang rumit atau trauma masa lalu.

Menikah dianggap pencapaian dan keberhasilan

Pertanyaan tentang status pernikahan juga mencerminkan norma-norma sosial dan harapan budaya yang lebih luas dan berbeda-beda. Dalam beberapa masyarakat, menikah dianggap sebagai pencapaian penting dan simbol status sosial, sehingga tekanan untuk menikah bisa menjadi sangat kuat. Padahal jauh di dalam hatinya, seseorang pasti memiliki alasan untuk belum melangkah ke jenjang pernikahan. Pernikahan bukanlah perkara sederhana. Banyak orang di sekitarnya yang telah menikah, namun justru menghadapi berbagai masalah yang tidak mudah. Ada yang harus berjuang keras secara ekonomi, ada yang merasa terjebak dalam hubungan tanpa tanggung jawab, bahkan ada pula yang mengalami tekanan psikologis karena belum siap menjalani kehidupan berumah tangga.

Tari KAPAN NIKAH? karya Budi Jak

Di tengah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan dan norma sosial, pertanyaan "Kapan nikah?" sering dianggap sebagai basa-basi biasa. Namun, kenyataannya, pertanyaan tersebut bisa menimbulkan efek psikologis yang dalam dan kompleks bagi individu yang menerimanya. Apa yang tampak sebagai sekadar tanya ringan dalam obrolan keluarga, reuni, atau bahkan percakapan santai di media sosial, dapat mengusik kenyamanan, menumbuhkan rasa cemas, memicu rasa tidak percaya diri, bahkan memperparah kondisi kesehatan mental seseorang.

Di banyak budaya, termasuk Indonesia, pernikahan dipandang sebagai tonggak penting dalam kehidupan seseorang. Seseorang dianggap “dewasa” dan “mapan” jika telah menikah. Tekanan ini semakin kuat bagi perempuan, karena mereka sering dihadapkan pada konsep usia ideal menikah. Di banyak keluarga, perempuan di usia akhir 20-an hingga awal 30-an kerap dianggap “kelewat umur” jika belum menikah. Akibatnya, muncul tekanan kolektif dari keluarga, kerabat, teman, dan masyarakat.

Seperti pendapat DePaulo, B. M., & Morris, W. L. (2005) menjelaskan bagaimana masyarakat seringkali memandang individu lajang secara negatif, dan bagaimana hal itu menciptakan tekanan sosial yang kuat terhadap mereka. Pertanyaan “Kapan nikah?” pada dasarnya adalah manifestasi dari ekspektasi sosial tersebut. Ia tidak hanya menanyakan status, tapi juga menggiring pada penilaian apakah seseorang telah memenuhi standar sosial yang ditetapkan? Namun pada sisi lain, pertanyaan tersebut bisa menimbulkan kecemasan mendalam, terutama bagi wanita yang sudah memiliki kekhawatiran terhadap masa depan atau merasa belum mencapai target pribadi. Wanita juga akan mempertanyakan dirinya sendiri, "Apakah ada yang salah denganku? Mengapa aku belum menikah? Apakah aku tidak layak?"

Cemas ini tidak muncul dalam ruang hampa. Ia bisa diperparah oleh realitas pribadi, hubungan yang kandas, pengalaman traumatis dalam hubungan sebelumnya, atau kesulitan mencari pasangan yang cocok. Setiap pertanyaan yang tampaknya sederhana itu bisa menjadi pengingat atas kegagalan, kekecewaan, atau ketakutan yang belum sembuh. Parahnya lagi, status pernikahan sering dijadikan indikator keberhasilan hidup. Ketika seseorang ditanyai secara terus-menerus, tanpa empati atau konteks yang tepat, ia bisa merasa bahwa pencapaian karier, pendidikan, kontribusi sosial tidak dihargai. Ini menurunkan harga diri secara perlahan. Mereka bisa merasa tidak cukup, tidak berhasil, atau bahkan gagal sebagai wanita salam kehidupannya sendiri.

Pemicu penyakit mental

Bagi sebagian orang, pertanyaan “kapan nikah?” bisa menjadi pemicu perasaan sedih yang berkepanjangan, atau bahkan depresi. Ini terutama terjadi jika pertanyaan tersebut datang dari lingkungan dekat, seperti keluarga sendiri. Individu bisa merasa tidak dimengerti dan tidak diterima. Sebagai respons terhadap tekanan ini, banyak wanita mulai menarik diri dari pergaulan. Mereka menghindari acara keluarga atau reuni karena takut kembali mendengar pertanyaan yang menyakitkan. Isolasi sosial inilah yang menjadi salah satu faktor risiko memburuknya kondisi mental. 

Meskipun pertanyaan “kapan nikah?” bisa dialami oleh siapa saja, tekanan terhadap perempuan cenderung lebih besar. Dalam banyak masyarakat patriarkal, perempuan sering dinilai berdasarkan status pernikahan dan kemampuan reproduksi. Pertanyaan tersebut tidak hanya menyinggung status hubungan, tapi juga membawa beban tambahan, ekspektasi menjadi istri, ibu, dan pengurus rumah tangga. Banyak wanita takut gagal, karena kurangnya penghargaan dan ketiadaan sumber penyemangat bagi kehidupannya setelah menikah. 

Perempuan yang fokus pada karier atau memiliki prioritas lain kerap dianggap “terlalu pemilih” atau “tidak sesuai kodrat”. Pandangan semacam ini menimbulkan tekanan psikologis ganda, selain harus berprestasi, mereka juga dituntut untuk tetap “patuh” pada norma sosial tentang pernikahan dan keluarga. Sementara sebagian orang pertanyaan tentang pernikahan dapat membuka luka lama. Mereka yang pernah mengalami hubungan abusif, kekerasan dalam pacaran, atau penolakan yang menyakitkan mungkin telah membangun kembali dirinya dengan susah payah. Ketika seseorang bertanya, “Kapan nikah?”, itu bisa menjadi semacam pemicu trauma lama yang belum sepenuhnya sembuh. Demikian pula bagi mereka yang pernah mengalami kehilangan pasangan (karena perceraian atau kematian), pertanyaan itu bisa menghadirkan kembali rasa duka dan kehilangan yang mendalam. 

Tari KAPAN NIKAH? karya Budi Jak

Banyak orang yang belum menikah bukan karena mereka tidak ingin, tetapi karena kondisi tertentu, sedang merawat orang tua, memiliki tanggung jawab keluarga, masalah kesehatan, keterbatasan ekonomi, atau belum menemukan pasangan yang sejalan secara nilai hidup. Sejalan dengan tulisan Brewin, C. R., Andrews, B., & Valentine, J. D. (2000) yang mengatakan bahwa bagaimana pertanyaan bisa memicu trauma masa lalu (seperti hubungan yang gagal atau kehilangan pasangan) dapat memperparah kondisi psikologis. Namun semua ini sering tidak dipahami atau dihargai. Pertanyaan “kapan nikah?” tidak memberikan ruang bagi kompleksitas ini. Ia mengasumsikan bahwa semua orang ingin dan bisa menikah. Lebih parah lagi, seakan pernikahan adalah satu-satunya jalur kebahagiaan atau validasi diri. Padahal, realitas hidup jauh lebih kompleks daripada sekadar “menikah atau tidak menikah”.

Belajar memahami dan berempati

Budi Jak menyadari bahwa pernikahan membutuhkan kesiapan mental, emosional, dan finansial yang matang, bukan sekadar memenuhi tuntutan sosial. Budi Jak mulai mempertanyakan tentang banyak orang dalam masyarakat yang belum sepenuhnya memahami sudut pandang ini. Tekanan demi tekanan terus datang, membuat kaum wanita merasa terasing meski berada di tengah keramaian. Ia membaca kecemasan, bahkan kadang merasa seolah ada yang salah dengan pilihan banyak wanita yang belum menikah. Ia pun bertanya-tanya, apakah kebahagiaan harus selalu diukur dari status pernikahan?

Karya Budi Jak sebagai gambaran nyata yang dialami banyak perempuan. Koreografer ingin menceritakan lewat sisi pandang wanita dewasa yang belum menikah dengan keresahannya tentang pertanyaan "Kapan Nikah?”. Pertunjukan ini mengajak kita untuk mendiskusikan ulang, saling memahami dan menghargai pilihan hidup orang lain. Sebab pada akhirnya, kebahagiaan bukan tentang memenuhi ekspektasi orang lain, tetapi tentang menjadi diri sendiri dan menjalani hidup dengan penuh kesadaran.

Pertanyaan “Kapan nikah?” mungkin terdengar ringan bagi sebagian orang, namun dampaknya bisa menghantam secara mendalam bagi individu yang sedang berjuang dengan berbagai tekanan hidup. Ia bisa memicu kecemasan, memperburuk perasaan tidak berharga, membuka luka lama, hingga menurunkan kualitas hidup secara keseluruhan. Karena itu, penting bagi kita semua untuk lebih bijak dan empatik untuk tidak mempertanyakan , Kapan Nikah?

Setiap orang berhak menjalani hidup sesuai pilihan dan ritmenya sendiri. Kebahagiaan dan keberhasilan tidak bisa diukur semata-mata dari status pernikahan. Dengan memahami efek psikologis dari pertanyaan-pertanyaan yang tampak sepele, kita bisa mulai membangun budaya sosial yang lebih inklusif, suportif, dan menghargai keragaman jalan hidup.

Segala permasalalahan dibalik pertanyaan, “Kapan Nikah?” inilah yang diangkat Budi Jak ke dalam karya tari. Dia mengajak kita belajar melalui penggung pertunjukan. Hanya sekedar berempati dan memahami seara mendalam efek pertanyaan “KAPAN NIKAH?”

Produksi Pementasan ke 22 UKM Seni Sarang Semut Universitas Tanjungpura Pontianak

  • Penari: Wasti – Alya – Dilla – Ola – Rindi – Lenti – Juwita – Pebri – Hilma 
  • Pemusik: Mbah Dinan – Vhony – Bagas – Wondo – Ican – Azka – Wiliam – Nigel – Wikry
  • Aktor: Zio Purba – Hana Azhar
  • Tim Produksi: Wondo – Anne – Hana – Bagas – Ican – Wasti – Zio – Nigel – Fathan – Aan – Fathur – Azka – William – Dilla – Pebri – Anggi – Tiara – Alya – Wafi


Traktir Mbah Dinan kopi klik di sini
atau mau beli alat musik Kalimantan?
LIHAT ALAT MUSIK DAYAK
LIHAT ALAT MUSIK MELAYU
Hubungi Admin: 0811 5686 886.
Posting Komentar