Naik Dango dan Esensi Nilai Religius Skip to main content

Naik Dango dan Esensi Nilai Religius

Naik Dango dan Esensi Nilai Religius
Sumber foto: Indonesia Menalar

Naik Dangio dan Awal Kesenian didalamnya

Naik Dango terkait teks dan konteks budaya merupakan sebuah sistem representasi yang sarat makna dan nilai, sehingga ia dapat disebut sebagai refleksi kehidupan masyarakat Dayak Kanayatn. Sebagai teks, Naik Dango dianggap sebagai refleksi keinginan masyarakatnya dalam menyatakan nilai-nilai religius yang berhubungan dengan Sang Maha Pencipta dijagat ini.

Dilihat dari konteks, Naik Dango adalah pengejawantahan hubungan antar masyarakat dan hubungan dengan Tuhannya dalam ikatan satu budaya. Selama sistem nilai ini berjalan, maka suatu ritus ritual akan terus disakralkan dan tetap lestari.

Walau presentasi Sang Pencipta itu berbeda, namun bersumber pada keinginan yang sama dan berakhir pada penghormatan apa yang mereka anggap berpengaruh besar dalam kehidupan mereka. Yaitu Eksistensi Tuhan dan segala kegaiban yang ada.

Begitu juga dengan Upacara Naik Dango, bisa dan sah saja berubah dalam bentuk apapun, namun satu yang perlu di ingat, bahwa nilai religius masyarakat tidak boleh hilang apalagi dihilangkan.

Masyarakat Dayak Kanayatn cenderung menganggap Naik Dango itu bukan hanya produk keindahan semata, namun sebagai pernyataan hubungan manusia dengan Tuhannya. Hubungan itu harus dilakukan dengan penuh keindahan dan etika dalam perilaku ritualnya, seperti menari, menyanyi, dan berbagai keindahan ungkapan suka cita didalamnya.

Sistem ini telah berjalan lama dan dibutuhkan untuk mengikat masyarakat dalam rasa kesatuan sedarah dan setanah binus. Oleh karena itu lahirlah pendefinisan kesenian ritual, walau kita sadar pada awalnya merupakan perilaku manusia untuk menyatakan hubungan dengan Tuhan dan sesuatu yang gaib di alam ini.
Sistem kepercayaan kuno tersebut sudah ada sebelum masuknya agama-agama Hindu, Budha, Katolik/Protestan, dan Islam. Masa itu, pelaksanaan upacara-upacara ritual sebagai bagian dari ‘sistem kepercayaannya’ disertai dengan penyajian-penyajian kesenian, yang kemudian disebut sebagai ‘seni ritual’. Sebagai contoh seni tari, yang konon sejak zaman pra-sejarah telah digunakan oleh kelompok-kelompok suku pada upacara-upacara ritual, misalnya ‘upacara minta hujan’, ‘upacara permohonan kesuburan tanah dan tanaman’, serta ‘upacara kematian’. Tari-tari ritual semacam ini dipentaskan di suatu tempat yang khusus, dan pada waktu yang khusus pula, serta ditarikan dengan gerak-gerak yang dapat menciptakan impresi-impresi tertentu kepada penontonnya (Selma, ed., 1992: 1).
Lambat laun perilaku religius dalam hubungan manusia dengan Tuhan menjadi terpola dan seiring waktu berkembang sampai menjadi bentuk kesenian tersendiri. Begitu juga dengan apa yang terkait dalam perilaku ritual tersebut. 

Upacara Naik Dango yang diselenggarakan tiap tahun, segala perilaku adalah pola hubungan masyarakat kepada Tuhan atau yang dipercaya masyarakat Dayak Kanayatn sebagai Penguasa Tertiniggi dalam Kehidupan
Naik Dango dan Esensi Nilai Religius
Sumber foto: Correcto

Esensi Nilai Religius dalam Ritual Naik Dango

Dulunya ritual Naik Dango dilaksanakan untuk menyatakan terima kasih masyarakat Dayak Kanayatn atas hasil penen yang melimpah, kehidupan yang tenteram dan aman, serta adanya peningkatan ekonomi kehidupan yang mereka rasakan. 

Pola ritual cukup sederhana, namun sejalan perkembangan mulai ditambahkan gerak tertentu sebagai gambaran penghormatan dan syukur, ada gerak terpola sebagai penggambaran suka cita atas berkah yang diberikan, dan semakin akrabnya hubungan masyarakat dengan masyarakat, serta hubungan masyarakat dengan Tuhannya.

Perilaku terpola ini dapat dilihat saat prosesi Nimang Padi, yang awalnya hanya dilakukan dengan Nyangahatn (tradisi berdoa Dayak Kanayatn) mulai berkembang dengan adanya lagu Amboyo untuk menyatakan penghormatan kepada padi yang mereka dapatkan. 

Hal ini bukan sebatas penghormatan kepada padi, namun sebagai simbol hubungan manusia dengan Tuhannya. Lama kelamaan lagu Amboyo di iringi tabuhan khusus dan perkembangan ini melahirkan musik Amboyo secara utuh seperti sekarang ini.
Pada sisi lain, gerakan sederhana dalam ritual Naik Dango juga berkembang semakin komplek dengan berbagai tambahan berbagai bagiannya yang melahirkan tarian Naik Dango. Akhirnya ritual tersebut dibawakan dengan Pola gerak yang indah yang kita kenal dengan tarian dan doa yang kita kenal sebagai musik seperti sekarang ini.
Lalu kenapa perkembangan perilaku terjadi? Itu karena masyarakat mengekspresikan hubungannya dengan Tuhan harus dilakukan dengan berbagai keindahan, baik dalam gerak (menjadi tari) maupun dalam doa (menjadi lagu dan musik). 

Masyarakat Dayak Kanayatn menganggap segala penghormatan kepada Jubata (sebutan Penguasa Tertinggi atau Tuhan) itu harus indah, tidak seperti gerak keseharian, dan harus penuh dengan etika. Setiap gerak dihaluskan dan jadilah rentetan proses ritual Nimang Padi sampai menaikkan padi ke Dango (lumbung padi). Lambat laun prosesi Nimang Padi dan menaikkan padi Ke Dango semakin berkembangan dengan segala keindahannya.

Perubahan perilaku ini tidak menghilangkan nilai hubungan masyarakat Dayak Kanayatn dengan Tuhan. Tidak juga menghilangkan makna religius dalam perilaku ritual tersebut. Masyarakat hanya menambah suatu yang sederhana, dikembangkan dengan orientasi keindahan (walau semakin komplek) dengan tujuan penghormatan dan etika dalam melaksanakan kebaktian terhadap Tuhan.

Makna penghormatan, Syukur, dan Keagungan Tuhan dibalut dengan etika sederhana, yaitu keindahan. Artinya segala perilaku harus indah, seperti Tuhan yang memberikan mereka kehidupan yang baik dan indah.
Naik Dango dan Esensi Nilai Religius

Sampai tahap perkembangan pada lingkup perilaku kesenian ini makna religius tidak berubah. Namun makna religius itu mulai berubah tatkala tujuan beberapa prosesi dalam Ritual Naik Dango itu berubah. 

Dulu masyarakat Dayak Kanayatn melakukan tari dalam prosesi Naik Dango bukan hanya untuk hiburan semata, namun lebih kepada Hubungannya dengan Tuhan. Ketika tujuan Naik Dango itu dilaksanakan untuk hiburan yang bersifat komersil, akhirnya nilai dan makna religius juga ikut berubah.

Perubahan Nilai Religius dalam Naik Dango

Perubahan tujuan Naik Dango ini bukan suatu hal yang tabu atau dipandang hanya untuk komersil semata. Masyarakat Dayak Kanayatn sadar, bahwa untuk melakukan ritual besar seperti Naik Dango gabungan Kabupaten Landak. Mempawah, dan Kubu Raya juga memerlukan biaya besar.

Hal ini bukan merubuhkan paksa nilai-nilai religius yang sudah ada sebelumnya, namun lebih kepada untuk membesarkan pesta ritual tersebut. Hanya saja tujuan ini kadang dimanfaatkan beberapa oknum untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, tanpa perduli dengan esensi nilai religius Naik Dango itu sendiri.

Pesta adat Naik Dango itu kebanggan masyarakat Dayak Kanayatn. Membuat ritual itu juga memerlukan biaya yang tidak sedikit, jadi sah-sah saja dikomersilkan. Namun satu hal yang perlu diingat, bahwa tujuan utama Naik Dango adalah pengejawantahan rasa syukur masyarakat kepada Tuhannya, ini yang tidak boleh hilang sampai kapanpun.

Boleh saja segala bentuk prosesi dalam Naik Dango itu berubah, namun simbol penghormatan kepada Tuhan jangan sampai dihilangkan. Semakin megahnya Naik Dango, maka masyarakat juga yang akan merasakan kemeriahan dan mendapat keuntungannya. 

Dibalik semua kemegahan Naik Dango, perlu penataan yang baik agar jangan sampai keluar dari koridor ritual itu sendiri. Jangan sampai orientasi komersil menghilangkan nilai-nilai religius didalamnya.
Mau beli alat musik Kalimantan?
LIHAT ALAT MUSIK DAYAK
Hubungi Admin: 0898 8566 886.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar