Jual alat musik Dayak - Buy Now!

Cerita rakyat Desa Pantun dikutuk jadi patung batu

Legenda patung batu di Desa Pantun Kaltim
Cerita rakyat Desa Pantun dikutuk jadi patung batu
Cerita Rakyat Kaltim - Jauh sebelum Kerajaan Kutai Martadipura atau Kutai Mulawarman berdiri, di pedalaman Muara Kaman terdapat sebuah kampung cukup besar. Kampung ini dihuni masyarakat Suku Dayak Pantun. Salah satunya adalah pasangan suami istri yang tinggal di tepi sungai, terpisah dari penduduk lain. Suami istri ini hidup dalam kemiskinan. Untuk makan sehari-hari suami istri ini mengandalkan hasil dari bertani di lahan yang kecil dan dari berburu.

Suami istri ini sebenarnya rajin bekerja—sebagaimana karakter umum masyarakat Dayak. Namun, barangkali karena suratan nasib, suami istri ini tetap terjerat kemiskinan. Saking miskinnya suami istri ini hanya memiliki baju yang melekat di badan saja. Bila baju itu di cuci, mereka terpaksa bersembunyi dahulu di dalam rumah, sampai baju yang dijemur itu kering. Dan karena setiap hari dipakai, baju merekapun sudah lapuk dan banyak tambalannya.

Meski begitu, pasangan suami istri ini hidup rukun dan bahagia. Sampai suatu hari ada pengumuman dari petinggi adat—pimpinan kampong—yang menyatakan sepekan lagi akan digelar Erau (pesta tahunan) selama seminggu, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas limpahan rezeki dan keselamatan tahun itu. Petinggi juga meminta kepada penduduk untuk menyumbangkan sedikit hasil panen mereka demi keperluan Erau. Semua penduduk gembira mendengarnya, karena ini berarti mereka akan bersenang-senang selama seminggu penuh.

Suami istri miskin itupun gembira. Aku harus mencari uang untuk membeli baju baru, terutama untuk istriku. tak pantas berpakain buruk begini naik ke lamin tinggi turut berpesta, pikir sang suami. Sang suamipun segera berangkat kehutan untuk berburu, berharap kali ini memeroleh buruan besar.

Untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak, sampai berhari-hari di hutan tidak satupun buruan didapat. Bahkan sampai erau berlangsung lima hari, sang suami masih di hutan tanpa memperoleh seekorpun binatang buruan. Di rumah, sang istri menanti dengan sedih. Keinginan ikut pesta Erau semakin menjadi, namun ragu ketika mengenang suaminya. “Erau tinggal dua hari lagi, bagaimana aku bisa ikut pesta? Baju ini buruk sekali.” Keluh sang istri dalam hati. Sementara suamiku belum juga datang dari berburu.

Dari kejauhan terus terdengar sayup-sayup suara gamelan ditabuh, diselingi gelak tawa. Pasti penduduk tengah bergembira menyanyi, menari, dan makan-makanan yang lezat-lezat di lamin tinggi. Tiba-tiba melintas ide dibenak sang istri. Buru-buru ia bangkit. Diambilnya batang pohon bamban yang banyak terdapat di tepi sungai. Batang bamban diraut lalu dirincih-rincih (dipipihkan) menjadi lembaran yang siap dianyam—sebagaimana membuat bakul. Sang istri pun mulai menganyam membentuk baju, dengan bagian tangan lembaran-lembaran bamban dibiarkan menjuntai membentuk rumbai-rumbai.

Begitu selesai, baju itu langsung dipakai, menutup baju lamanya yang compang-camping, dan bergegas ke tempat pesta. Tanpa ragu sang istri naik ke lamin tinggi dan turut menari serta menyantap hidangan yang lezat-lezat. Namun pakaian yang tak lazim dan menerbitkan bau yang tak sedap, membuat semua orang menatapnya. Semua orang didekatnya sontak menjauh sambil menutup hidung. Mereka semua menganggap kehadiran perempuan ini merusak pesta. Maka, sang istripun beramai-ramai didorong ke luar lamin. Petinggi berusaha mencegah dan mengingatkan, semua warga berhak mengikuti erau, tanpa kecuali.

Namun orang-orang tak peduli. Sang istri didorong sampai terjatuh keluar dari lamin. Ia dianggap gila karena mengenakan pakaian aneh dan bau. “aku tidak gila ! Aku tidak gila!” teriak sang istri seraya bangkit dan cepat naik lagi kelamin. Namun orang-orang kembali medororngnya ke luar lamin, sampai berkali-kali. Sampai akhirnya sang istri terduduk seraya menangis pilu di tangga lamin. Sementara orang-orang di atas terus mencaci maki dan menghina. Bahkan ada yang menumpahkan air kotor dan kerak nasi ke tubuh sang istri. Seorang lelaki mabuk malah mengencinginya. Tubuh sang istri pun kotor tak karuan.

Sementara itu sang suami sudah putus asa. Ia pun pulang dan mendapati rumah kosong. Pasti istriku ke tempat erau, pikirnya. Segeralah bergegas ke lamin tinggi. Istrinya memang ada di sana. Tapi bukan sedang berpesta. Dilihatnya istrinya tengah menangis dengan tubuh basah dan kotor, sementara dari atas lamin terdengar suara orang menghina dan mencaci maki. Terdengar pula suara keras petinggi melarang. “Jangan, jangan menghina orang disaat erau! Itu tuhing! Itu pantangan! Kalian sudah melanggar tuhing!” teriak petinggi. Tapi tetap tak ada yang mempedulikan.

Dengan perasaan marah bercampur sedih, sang suami mengajak istrinya pulang. Dengan penuh kasih sayang sang suami memandikan istrinya sampai bersih. Baju bamban ia buang. Sang suami pun meminta maaf kepada istrinya karena untuk sekedar membelikan baju tak pantas pun ia tidak mampu. Tapi di dalam hati, sakit hati menyaksikan istri tercinta dihina begitu rupa, tak terobati . harus dibalas. Saat itu juga sang suami melaksanakan pemujaan kepada Dewata, memohon agar perbuatan orang-orang di pesta Erau dibalas.

Berdasarkan petunjuk, ia membakar ekor buhis (kera) sampai menjadi abu. Abu ini kemudian ditaburkan di arena pesta di atas lamin. Tak seorangpun melihat kemunculannya. Mungkin Dewata sudah membalikkan mata mereka, atau karena semua sudah mabuk. Selesai menaburkan abu ekor buhis di sekeliling lamin, sang suami suami menabuh gong besar yang ada di sudut, sebagai isyarat pesta harus diakhiri. Semua orang berhenti bergerak dan melihat siapa yang memukul gong.

Namun itu hanya sedetikan,. Tiba-tiba cauca berubah buruk. Hujan sangat lebat turun, disertai petir dan angin puting beliung, menghantam lamin. Semua orang berhamburan turun dari lamin dengan wajah ketakutan. Mereka ingin kembali kerumah masing-masing., tapi tak bisa. Puting beliung begitu dahsyat. Rumah-rumah penduduk hancur berantakan bagai terbuat dari kertas. Begitu juga lamin tinggi. Kampong itu rata dengan tanah. Penduduk berlarian menuju gua-gua dan bersembunyi di sana.

Namun malapetaka akibat melanggar tuhing belum berakhir. Ditengah suasana hujan lebat dan petir menyambar dan hantaman angin kencang, penduduk kampung mulai merasakan tubuh mereka perlahan-lahan membeku. Semuanya seketika pucat pasi. Isak tangis penyesalan sudah tak berguna lagi.

Ketika alam kembali terang benderang, terlihatlah kampung itu sudah benar-benar rata dengan tanah. Sementara di gua-gua, semua orang yang tadi turut erau, sudah menjadi batu.
Traktir Mbah Dinan kopi klik di sini
atau mau beli alat musik Kalimantan?
LIHAT ALAT MUSIK DAYAK
Hubungi Admin: 0811 5686 886.

About the Author

Saya Ferdinan, S.Sn. dipanggil Mbah Dinan. Komposer dan peneliti independen budaya musik Dayak kalimantan Barat. Masih aktif memberi pelatihan seni musik Dayak pada komunitas di Kalimatan Barat.

إرسال تعليق

Tinggalkan komentar anda
Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.