Pendidikan Karakter Melalui Teater Skip to main content

Pendidikan Karakter Melalui Teater

Pendidikan Karakter Melalui Teater

Teater Membentuk Karakter

Dibawakan oleh JOSEPH ODILLO OENDOEN, S.Sn.
Tulisan ini diambil dari sumber
Link : http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/drama-karakter%20(edit).pdf
Judul : Seni Drama dan Pendidikan Karakter
Penulis : Sumaryadi
Universitas : FBS Universitas Negeri Yogyakarta
Tulisan ini merupakan Karya Ilmiah disajikan sebagai Makalah Pendamping pada Seminar Nasional Jurusan Pendidikan Sendratasik se-Indonesia, 12 november 2011 di FBS UNY.
Editor: Mbah Dinanwww.mbahdinan.com

Pendidikan Indonesia belum mencapai sasaran

Saat ini pemerintah giat menggaungkan arah pendidikan generasi muda, namun terdapat banyak kendala dan hasilnya jauh dari harapan. Target awal pencapaian pendidikan nasional adalah menciptakan manusia cerdas dengan kepribadian luhur bangsa Indonesia. Namun melihat perkembangan kehidupan sosial (masyarakat) yang semakin tidak menentu, terjadinya ketimpangan tingkah laku yang tidak mencerminkan kehidupan berbangsa dan bernegara, membuat kita harus berpikir ulang, apakah tujuan pendidikan nasional Indonesia sudah tepat sasaran atau belum? Hal ini penting agar masa depan bangsa aman, damai, dan sejahtera dalam arti sesungguhnya.

Kebanyakan pendidikan kita mengabaikan pendidikan budi pekerti sebagai dasar pertumbuhan generasi muda, yang akan berdampak besar bagi pembangunan bangsa. Hal ini bukan karena kurangnya usaha pendidikan adab, agama, dan saint, namun pendidikan tersebut dipandang tidak menarik. Sehingga hanya ditangkap sambil lewat dan pada beberapa kasus dianggap tidak penting. Akhirnya pendidikan di Indonesia belum berhasil membentuk karakter bangsa. Orientasi pendidikan hanya berusaha mengejar keberhasilan kelulusan formal atas penguasaan kompetensi maupun pemecahan masalah sehari-hari yang dihadapi bangsa (Susetyo, 2010).

Kita melihat berbagai kejadian sosial akhir-akhir ini sangat mengkhawatirkan. Fenomena kekerasan dalam menyelesaikan masalah menjadi hal yang umum. Pemaksaan kebijakan terjadi hampir pada setiap level institusi pemerintah maupun swasta. Manipulasi informasi menjadi hal yang lumrah. Penekanan dan pemaksaan kehendak satu kelompok terhadap kelompok lain dianggap biasa. Hukum begitu jeli pada kesalahan, tetapi buta pada keadilan. Sepertinya karakter masyarakat Indonesia yang santun dalam berperilaku, musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah, toleransi dan gotong royong, telah berubah wujud menjadi hegemoni kelompok-kelompok baru yang saling mengalahkan (Hasanah, 2009). Bahkan kalau boleh dibahasakan dalam Bahasa bar-bar dan kebuasan “yang penting tujuan dan kepentingan kelompok dapat tercapai, sisanya singkirkan”.

Beginikah yang kita inginkan? beginikah yang namanya keberhasilan? Beginikah yang namanya kemajuan dan kebebasan hak untuk hidup nyaman dan damai di negeri yang (katanya) kita cintai ini? Tentu saja bukan dan jauh sekali dari harapan. Kuncinya ada pada pendidikan sejak dini ditingkat sekolah, yaitu dikalangan generasi muda sebagai penerus kehidupan bangsa.

Tujuan pendidikan Indonesia

Suatu hal penting adalah perbaikan tujuan pendidikan telah dilakukan dengan membentuk kepribadian bangsa, yaitu “berkarakter” luhur dan menjunjung tinggi nilai Pancasila serta undang-undang dasar 1945. Untuk mencapai itu semua, maka diperlukan pendidikan karakter yang kuat dan beradab. Selanjutnya tinggal membuat sarana yang tepat untuk pendidikan karakter tersebut agar dapat mencapai tujuan. Sarana itulah yang merujuk pada pembelajaran aktif, kreatif, dan tentunya harus menyenangkan, yaitu melalui media seni drama atau TEATER.

Pendidikan merupakan proses yang paling bertanggung jawab dalam melahirkan warga negara Indonesia yang memiliki karakter kuat sebagai modal membangun peradaban tinggi dan unggul. Karakter bangsa yang kuat merupakan produk dari pendidikan yang bagus. Ketika mayoritas karakter masyarakat kuat, positif, tangguh peradaban yang tinggi dapat dibangun dengan baik dan sukses (Hasanah, 2009). Maka, untuk ‘menyelamatkan’ masa depan bangsa ini, pendidikan karakter harus didahulukan sebagai suatu yang mendesak.

Karakter yang ingin dicapai adalah cara berpikir dan berperilaku yang baik dan bertanggungjawab. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap bertanggung jawab pada akibat dari keputusan yang dibuatnya. Untuk itu, pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional di antaranya adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia (Suyanto, 2009).

Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.

Pendidikan Karakter melalui seni teater

Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran kesenian drama. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada pelajaran kesenian perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif (otak), tetapi menyentuh pada internalisasi (kejiwaan), dan pengamalan nyata dalam kehidupan generasi muda sehari-hari di masyarakat.

Kegiatan seni drama/teater, merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik. Karena pendidikan melalui Teater sangat menarik dan dapat langsung menggambarkan kejadian tentang baik buruknya perilaku manusia. Muatan teater itu dapat dijadikan contoh langsung dari kehidupan manusia yang dapat digambarkan secara jelas dan menyeluruh, sehingga para siswa didik dapat mengambil pelajaran langsung dan dapat memberi nilai terhadap apa yang mereka pelajari dalam dunia teater.

Menurut Suyanto (2009) Secara lebih spesifik, ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal:
  1. karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya;
  2. kemandirian dan tanggungjawab;
  3. kejujuran/amanah, diplomatis;
  4. hormat dan santun;
  5. dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama;
  6. percaya diri dan pekerja keras;
  7. kepemimpinan dan keadilan;
  8. baik dan rendah hati,
  9. karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Kesembilan nilai-nilai universal dalam pendidikan karakter tersebut dapat saja dibuat sebagai ide cerita maupun sisipan penyampaian ide dalam penggarapan teater. Hal ini agar anak didik dan penonton dapat balajar dengan mudah, kreatif, dan menyenangkan.
Pendidikan karakter melalui seni drama harus diterapkan melalui kegiatan-kegiatan pembiasaan yang bersifat santai, membangun, dan mudah difahami. Hal ini karena dalam kemasan teater bisa diolah pesan-pesan moral yang disampaikan dengan mudah difahami, jelas beserta gambarannya melalui adegan, menyenangkan, dan dapat dijadikan sarana hiburan mendidik bagi semua kalangan.

Kebersinggungan Drama (Teater) dengan Pendidikan Karakter

Dalam kaitan dengan pendidikan drama, pembelajaran drama, atau pergelaran drama di lingkungan sekolah atau generasi muda (bahkan dikalangan umum), diperlukan dua syarat utama, yakni syarat seni dramanya dan syarat pendidikannya, yang mana keduanya bersifat komplementer (saling berhubungan). Untuk itu, diperlukan lakon atau cerita yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan karakter. Misalnya pendidikan drama di sekolah atau siswa. Lakon mesti yang dapat ‘dimainkan’ oleh peserta didik dan pengemasannya (dekor, properti, dan lain-lain) tidak terlampau sulit. Demikian halnya laku dalam lakon pun mesti yang dapat dilakukan oleh pemain dengan perlengkapan yang ada atau yang mungkin diadakan. Dialog-dialog diusahakan bisa hidup, cair, dan mudah diucapkan, namun tetap memperhatikan syarat-syarat etika, estetika, dan logika.

Memerankan tokoh sama dengan memberikan bentuk lahir pada watak dan emosi dengan laku dan ucapan. Watak yang harus diperankan menurut Richard Boleslavsky (melalui Harymawan, 1988: 30-41) mempunyai tiga bagian yang harus tampak, yakni watak tubuh, watak pikiran, dan watak emosi. Anak bisa menciptakan sebuah peran berarti anak itu sudah menciptakan keseluruhan hidup sukma manusia di atas panggung, baik secara fisik, mental, dan emosional, dan itu harus unik.
Faktor lain yang juga perlu diperhatikan adalah membangun suasana drama. Betapa pun bagusnya lakon dan penyuguhan teater, jika kurang didukung oleh suasana, tentu saja drama itu kurang menarik. Untuk itu diperlukan lakon yang tepat, penyajian yang bagus, penataan artistik (busana, rias, lampu, suara, panggung, properti) yang tepat, dan audiens dapat digiring agar mampu menjadi penonton yang apresiatif dan terhibur.

Manfaat pendidikan karakter melalui Teater

  1. Membentuk kepribadian yang kuat dan peduli terhadap sesama; Kegiatan drama atau teater bisa membantu siswa pada pembentukan pribadinya yang erat hubungannya dengan pembentukan sikap sosial. Anak semakin menyadari bahwa masing-masing individu terjadi atas tiga dimensi, yakni sebagai makluk ciptaan Tuhan, makhluk individu, dan makhluk sosial. Siswa  tidak hanya terbentuk menjadi manusia-manusia materialistis, pemalas, mau menang sendiri, dan sadar akan penghormatan kepada siapa saja dan karya apa saja. Siswa akan menjadi manusia yang menghargai dan mengimplementasikan nilai-nilai budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini karena dalam seni drama ada estetika yang cukup signifikan untuk menyalurkan emosi kepada pembentukan pribadi yang baik. Pendidikan estetika menjadikan anak-anak mampu menghargai keindahan, kehalusan, dan ketertiban/kedisiplinan.
  2. Dapat mempelajari psikologi manusia dengan berbagai pemikiran dan perilakunya; Peserta didik mempunyai kesempatan memerankan tokoh. Peran tokoh itu tentu saja dihayatinya dengan baik, sehingga tanpa sadar prosesi itu akan sangat membantu siswa dalam proses pendewasaan diri. Siswa akan menghayati diri mereka dengan tokoh-tokoh yang dibawakannya, lalu mengenal secara baik problem-problem tokoh tersebut. Akhirnya mereka tahu secara persis nilai-nilai (moral) dan solusi dari permasalah tokoh tersebut, sehingga peserta didik cukup terlatih memecahkan problemnya sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
  3. Mendidik mental kuat, Saling menghargai dan menghormati; Berkegiatan drama/teater yang dilakukan secara rutin atau berkesinambungan bisa berdampak positif bagi siswa karena mereka cenderung menjadi betah bergaul dengan orang lain tanpa memandang status sosial. Mereka bisa saling menghormati pendapat orang lain, sabar mendengarkan pembicaraan orang lain, terbiasa dengan ‘pertentangan pendapat’ di antara mereka, berjiwa toleran, berani menentang hal-hal yang tidak baik, dan bertanggungjawab atas perbuatannya.
  4. Memperkaya kosa kata dan menumbuhkan percaya diri; Bergaul dengan cerita atau lakon-lakon drama akan banyak mengambil keuntungan karena siswa banyak menyaksikan betapa seorang tokoh menyusun pikiran dan perasaan dengan sebaik mungkin untuk disampaikan kepada orang (tokoh) lain. Dengan itu, anak-anak akan terbiasa dan secara mudah dan lancar untuk mengemukakan pikiran dan perasaan secara logis dan sistematis di depan orang banyak secara lisan. Di samping itu, anak-anak akan memperoleh kekayaan kosakata yang luar biasa yang mungkin tidak akan mereka dapatkan dalam bahasa yang dipergunakan sehari-hari, bahkan dibangku sekolah sekalipun.
  5. Mendidik kedisiplinan dan tanggung jawab; Kita juga tahu bahwa kegiatan drama (teater) adalah kegiatan kolektif yang memerlukan kesetiaan, kedisiplinan yang tinggi, rasa tanggung jawab, dan kerjasama yang baik. Maka pada diri peserta didik akan tertanam sikap atau perilaku gotong-royong dalam bekerjasama. Kalau kita lihat secara mendalam, casting saja sudah cukup bermanfaat untuk menumbuh kembangkan kesadaran berkompetisi secara sehat, yang berbuah pada dorongan untuk selalu mau dan mampu berusaha secara optimal.
  6. Belajar menemukan jati diri; Dalam kegiatan drama (teater), ternyata baik pemain (aktor/aktris) maupun penonton (pemirsa, audience) sama-sama mendapatkan keuntungan. Pemain atau aktor/aktris yang bermain drama adalah orang-orang yang memperoleh kesempatan besar untuk menemukan dirinya (Saleh, 1967: 213). Sementara itu, penonton atau pemirsa/audience dari waktu ke waktu mesti belajar menjadi penonton yang baik, santun, dan bermartabat.
  7. Menyehatkan mental; Pernah dibuktikan di Amerika Serikat bahwa educational theatre teramat bermanfaat sebagai salah satu cara untuk mengendorkan ketegangan emosi siswa dan memberikan kontribusi yang berarti untuk kesehatan mental anak-anak (Sihombing, 1974: 459). Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di antaranya adalah Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara itu menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.
  8. Cara belajar mudah, menyenangkan, dan kreatif; Drama (sandiwara) sebagai media pembelajaran pun teramat strategis dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan mengingat drama (sandiwara) bersifat sangat menarik minat dan mengikat perhatian (Saleh, 1967: 213). Artinya berteater sambil belajar mudah, menyenangkan, dan kreatif.

Penutup

  • Nilai-nilai luhur yang dibawa dalam setiap kegiatan pembelajaran di sekolah diharapkan mampu mengantisipasi para pelajar dari berbagai pengaruh negatif dalam pergaulan kesehariannya. Untuk itu, selain menggali potensi peserta didik, seni dan budaya juga mampu meningkatkan apresiasi siswa terhadap karakter bangsa.
  • Drama teramat besar manfaatnya bagi anak-anak dalam rangka membentuk manusia Indonesia seutuhnya, dalam mendukung pelaksanaan pendidikan karakter di Indonesia. Tanpa dirasakan dan disadari oleh anak-anak, dari ‘pergaulan’ mereka dengan drama, mereka akan terbekali nilai-nilai, pesan-pesan moral, atau perilaku-perilaku positif yang terkandung dalam drama. Drama sebagai karya seni memiliki nilai bentuk, nilai inderawi, nilai pengetahuan, dan nilai kehidupan yang berbudi luhur sebagai cermin kehidupan bangsa.
  • Hal penting yang perlu diingat bahwa dalam mencapai estetika dalam produksi seni drama, kita tidak boleh mengorbankan aspek moral (etika) dan logika. Di satu sisi, aspek moral mesti ada dalam setiap karya drama. Lalu pada sisi lainnya aspek logika juga penting agar jangan sampai sebuah karya terlogikakan tidak masuk akal dan sesuai dengan kemampuan anak. Artinya aspek logika berbicara mengenai sesuai atau tidak dan masuk akal atau tidak. Di sisi lain, aspek moral dan logika di dalam drama itu mesti tersampaikan kepada apresiator (anak-anak, siswa, pemirsa, audience).

Daftar Pustaka

  1. Harymawan, RMA. 1993 (Cet. II). Dramaturgi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
  2. Hasanah, Aan (Pengamat pendidikan dan dosen UIN Bandung) ‘Pendidikan Berbasis Karakter‟ http://karakterbangkit.blogspot.com/2009/12/pendidikan-berbasis-karakter.html. Senin, 14 Desember 2009. Diunduh pada 10 April 2011.
  3. Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
  4. Saleh, Mbiyo. 1967. Sandiwara dalam Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung.
  5. Sihombing, Wahyu. 1974. ‘Masalah Educational Theatre’ dalam Budaya Jaya No. 75 Th. VII. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
  6. Suyanto. 2009. ’Urgensi Pendidikan Karakter’. http://www.mandik dasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html. Diunduh pada 10 April 2011.
  7. Susetyo, Benny (Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI, Pemerhati Sosial). http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak, generated: 19 June, 2010. Diunduh pada 11 April 2011.
Mau beli alat musik Kalimantan?
LIHAT ALAT MUSIK DAYAK
Hubungi Admin: 0898 8566 886.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar