Jual alat musik Dayak -->> Lihat Produk!

Pantak dalam Alam Pikir Dayak Kanayatn

Memahami pemikiran msyarakat Dayak Kanayatn terhadap Pantak
Pantak dalam Alam Pikir Dayak Kanayatn
Sumber foto : Andrianus, Sri Iswidayati, Triyanto, Prodi Pendidikan Seni, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang, Indonesia

Melihat Pemikiran Masyarakat Dayak Kanayatn terhadap Pantak

Manusia mempunyai hubungan erat dengan kebudayaan dan dapat dikatakan sebagai makhluk berbudaya. Kebudayaan itu terdiri atas gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai luhur sebagai hasil dari kehidupan manusia.

Begitu eratnya hubungan manusia dengan simbol-simbol, ia dapat dikatakan sebagai makhluk yang bersimbol. Manusia berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan simbolis. Ungkapan-ungkapan simbolis inilah yang digambarkan dalam tingkah laku sebagai penggambaran nilai-nilai budaya suatu masyarakat.

Ernst Cassirer dalam (Budiono Herusatoto, 1991:9) mengatakan Manusia tidak pernah menghadapi lingkungan fisik secara langsung. Mereka selalu mendekati alam (dan isinya) melalui budaya, melalui berbagai sistem simbol, makna dan nilai. Selanjutnya Ernst Cassirer mengatakan bahwa Manusia dapat disebut sebagai hewan yang bersimbol (Animal Simbolicum). Manusia tidak pernah melihat, menemukan dan mengenal dunia secara langsung kecuali dengan berbagai simbol (Budiono Herusatoto, ibid).

Masyarakat Dayak Kanayatn mengenal alam nyata dan hubungan dengan alam gaib melalui simbol-simbol. Simbol tersebut merupakan ide-ide yang melambangkan maksud tertentu. Masyarakat Dayak Kanayatn mengkomunikasikan simbol-simbol sebagai konsep hubungan relegius antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam gaib, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam nyata (lingkungannya).

Apa yang digambarkan simbol itu terdapat juga dalam Pantak Dayak Kanayatn, sehingga Pantak dianggap sebagai bahasa simbolik, yaitu hasil pengejawantahan persepsi masyarakat tentang segala sesuatu yang mempunyai kekuatan metafisik dan dianggap berpengaruh dalam kehidupannya.

Pantak dapat dikatakan sebagai sebuah bahasa simbolik, yaitu sebuah bentuk yang bermakna (significant form). Dia adalah objek rasa dengan melalui kecemerlangan struktur dinamikanya dapat mengungkapkan bentuk-bentuk pengalaman penting dalam kehidupan. Melalui Pantak, orang Dayak Kanayatn memberi pemaknaan budaya, pernyataan alam pikir, alam budi, tata susila, termasuk pula karya seni yang mengacu pada nilai estetik manusia Dayak Kanayatn.

Kebanyakan nilai kehidupan masyarakat Dayak Kanayatn dilambangkan dalam bentuk simbol. Apa yang diungkap melalui simbol dapat ditangkap manusia lainnya, kemudian dipelajari, dihayati maknanya, dan diterapkan dalam kehidupan. Contohnya seperti simbol-simbol pada Pantak. Pantak dianggap sebagai lambang penghormatan kepada nenek moyong yang telah berjasa dalam kehidupan. 

Pantak dianggap sebagai bahasa komunikasi simbol, sedangkan upacara dianggap sebagai wadah sakral yang dapat menghubungkan dunia gaib dan hubungan manusia dengan Jubata. Ia juga dianggap sebagai transpormasi nilai-nilai kehidupan yang tersimpul dalam adat dan tradisi, lambang penghormatan kepada pada leluhur, dan hubungan manusia dengan Sang Maha Pencipta.

Sifat-sifat religi masyarakat yang dapat digolongkan bersahaja sering dikatakan sintetik dan relativistik. Hal ini dapat dijelaskan dari pemahaman dualisme dan pluralisme yang merupakan keutuhan, kebulatan, dan totalitas tunggal. Sistem kepercayaan seperti ini masih melekat pada Pantak, yang dianggap sebagai penggambaran kehidupan nenek moyang.

Pantak dianggap mempunyai kebulatan makna menyeluruh dari adat istiadat dan hubungan religius dalam kehidupan yang dijalani masyarakatnya. Keduanya merupakan kebulatan yang saling melengkapi dan memberikan arti antara satu dengan lainnya.

Penciptaan bentuk berbagai Pantak adalah wujud ekspresi estetik. Dengan kata lain menuangkan ide atau gagasan menjadi karya seni rupa tiga dimensi. Pada Pantak ada dua nilai, yaitu nilai estetik berhubungan dengan bentuk karya seni rupa, dan nilai budaya yang berhubungan dengan segala pemikiran masyarakat Dayak Kanayatn mengenai patung tersebut. Kita tidak membahas bentuk dalam seni rupa, tapi kita akan membicarakan tentang nilai budaya berdasarkan cara pandang masyarakat terhadap Pantak tersebut.

Pantak merupakan patung yang mempunyai nilai religius, yaitu kepercayaan terhadap leluhur nenek moyang dalam masyarakat Dayak Kanayatn. Orang yang mempunyai kelebihan khusus (sakti) ketika meninggal dibuatkan patung yang disebut Pantak untuk mengenang jasa-jasanya semasa hidup. Masyarakat Dayak Kanayatn percaya, bahwa sumangat (roh) orang yang meninggal itu masih hidup disekitar mereka dan dapat dipanggil guna dimintai bantuan tertentu.

Orang yang dianggap mempunyai ilmu tinggi, berpengaruh, atau berjasa bagi sukunya ketika mati dibuatkan Pantak agar sumangat orang yang meninggal tersebut masuk ke dalam Pantak. Mereka menghormati Pantak tersebut, sebagaimana mereka menghormati orang yang meninggal waktu masih hidup. Bahkan beberapa masyarakat rutin memberikan sesaji kepada sumangat (roh) yang dipercaya ada dalam Pantak tersebut. 

Mereka percaya sumangat itu bisa mendengar jika dimintai pertolongan, seperti menjaga kampung dari wabah penyakit, menjaga dari gagal panen, bahkan menghubungkan mereka dengan penguasa tertinggi, yaitu Jubata.

Masyarakat Dayak Kanayatn tidak menyembah Pantak. Jika mereka memberi sesaji pada Pantak, mereka hanya menghormati sumangat (roh) dalam Pantak itu, sebagai lambang terima kasih mereka atas bantuannya menjaga mereka dari bahaya. Mereka menganggap sumangat dalam Pantak itu harus diberikan makan sebagai ungkapan terima kasih.

Masyarakat Dayak Kanayatn sadar bahwa sumangat yang dalam Pantak itu tidak berharap pamrih, seperti ketika orangnya masih hidup. Namun masyarakat Dayak Kanayatn memberikan sesaji dengan suka rela, bahkan tempat dan Pantak sering dibersihkan sebagai wujud bakti terhadap leluhurnya. Artinya masyarakat Dayak Kanayatn memang meminta tolong kepada ruh leluhur, tapi mereka tidak “menuhankan” roh leluhur tersebut.

Persepsi relegius masyarakat Dayak Kanayatn melahirkan adab yang diwujudkan dalam tindakan. Namun mereka tidak menyembah, hanya saja mereka berkomunikasi dengan roh leluhur mereka. Artinya Pantak tidak dianggap sebagai simbol penguasa, namun sebagai menumen untuk mengenang leluhur. Inilah yang banyak salah dalam pandangan orang.

Kebanyakan orang mengira masyarakat Dayak Kanayatn itu menyembah Pantak, padahal hanya dijadikan sarana komunikasi atau sarana penghubung kepada penguasa tertinggi. Bahari (dalam Julipin, 2011:29) mengungkapkan bahwa patung Pantak tersebut merupakan media komunikasi masyarakat Suku Dayak Kanayatn dengan pama (arwah leluhur) untuk memohon izin dan meminta perlindungan kepada leluhur nenek moyang Suku Dayak Kanayatn.

Menurut beberapa masyarakat Dayak Kanayatn, Pantak merupakan simbolisasi leluhur nenek moyang mereka yang mempunyai kedudukan tinggi semasa hidupnya, atau orang yang dihormati karena ilmu atau banyak berjasa bagi kehidupan masyarakat Dayak Kanayatn. Arti kedudukan yaitu leluhur nenek moyang yang menjadi tokoh masyarakat dalam suatu desa. Seperti diungkapkan (Iswidayati, 2006:33) bahwa simbol terjadi karena adanya hubungan konvensional yang terjadi antara ground dan objek berdasarkan suatu kesepakatan.

Dihadirkannya patung Pantak tersebut mempunyai tujuan bagi masyarakat Suku Dayak Kanayatn sebagai simbol bahwa dalam kehidupan masyarakat Suku Dayak Kanayatn ada tokoh yang berperan penting dalam suatu wilayah yang mana masyarakat sepakat bahwa orang tersebut mempunyai kelebihan, baik dari keilmuan, maupun dipandang pada posisi kedudukannya dalam masyarakat.

Pantak dianggap sebagai sarana komunikasi, dimana Pantak tersebut dianggap sebagai simbol kebesaran, simbol keluhuran, simbol kekuatan, dan simbol keturunan sebagai pengejawantahan hidup leluhur nenek moyang mereka. Pembuatan sampai pada peletakan Pantak disertai dengan ritual, karena mereka percaya, sebuah Pantak adalah menifestasi roh leluhur. Dia perlu kesucian dari orang yang berinteraksi kepadanya dan hanya mau ditempatkan pada tempat yang baik dan tenang (bukan sembarang tempat).

Perilaku penghormatan ini yang dimaksud sebagai bentuk bakti dari keturunannya. Mereka takut kualat jika tidak berbakti pada leluhur mereka. Jika ada Ritual terkait Pantak tersebut, maka itu bukan menyembah Pantak, namun lebih kepada perilaku penghormatan kepada leluhur.

Pantak dijadikan simbolisasi leluhur yang diyakini dapat membantu keturunannya, baik keselamatan daerah dimana mereka tinggal, menjaga pertanian dan perkebunan dari wabah penyakit, sampai menjaga kehidupan mereka dari gangguan makhluk halus yang jahat. Sumangat dalam Pantak itulah yang dapat melihat, berkomunikasi, dan mengatasi pengaruh jahat yang ditimbulkan makhluk gaib lainnya. Jika sumangat itu tidak sanggup mengatasinya, maka sumangat itu akan meminta bantuan penguasa tertinggi untuk mengatasinya, yaitu Jubata. 

Oleh karena persepsi di atas, Pantak dianggap sakral dan harus dibuat melalui ritual khusus. Artinya sumangat dalam Pantak dipercaya mempunyai kekuatan gaib, sehingga patung tersebut diritualkan bersama kesakralannya. Perlu diingat bahwa masyarakat Dayak Kanayatn tidak menyembahnya. Inilah monument penghormatan kepada leluhur masyarakat Dayak Kanayatn yang mereka bawa dalam kehidupan, sampai pada perilaku menghormati orang lain sebagai manusia seutuhnya.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Herusatoto, Budiono. 1991. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita Graha.
  2. Julipin, Vincentius, 2011. Mencermati Dayak Kanayatn, Pontianak: Institute Dayakologi
  3. Iswidayati, Sri. 2006. Pendekatan Semiotik Seni Lukis Jepang Periode 80-90an Kajian Estetika Tradisional Jepang Wabi Sabi. Semarang: UNNES PRESS.
  4. Radam, Noerid Haloei. 2001. Religi Orang Bukit. Yogyakarta: Yayasan Semesta.
  5. Wadiyo. 2008. Sosiologi seni (Sisi Pendekatan Multi Tafsir). Semarang. UNNES PRESS
  6. Ala, Alimin. Wawancara langsung. pemain Dau We’nya. 12 April 2005. Pal 20 Ngabang, Kab. Landak, Kalimantan Barat. Diijinkan untuk dikutip.

Mau beli alat musik Kalimantan?

LIHAT ALAT MUSIK DAYAK
LIHAT ALAT MUSIK MELAYU
Hubungi Admin: 0811 5686 886.

About the Author

Saya Ferdinan, S.Sn. dipanggil Mbah Dinan. Saya komposer dan peneliti independen budaya musik Dayak kalimantan Barat. Bekerja di Taman Budaya Kalbar dan masih aktif memberi pelatihan seni musik pada komunitas dan instansi pemerintah di Kalimatan Bar…

إرسال تعليق

Tinggalkan komentar anda
Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.