Membaca Dialektika Tubuh Skip to main content

Membaca Dialektika Tubuh

Membaca Dialektika Tubuh

WANTED-Dialog Tubuh dalam Pementasan Teater Forum ISBI Bandung

Teater - Saya tadi nonton teater dari Teater Forum Bandung, tepatnya dari ISBI Bandung. Ada hal menarik dari suguhan teater berjudul Wanted (The Theater). Sebuah kemasan cerdas dalam ruang sempit pemikiran saya sebagai warga musik. Suatu dialog penawaran konsepsi dibalik bahasa teks di atas panggung dan dinarasikan oleh bahasa tubuh. Yah… sebuah bahasa tubuh yang memaksa saya duduk untuk membaca ruang persepsi berbeda dari kawan-kawan teater pada umumnya. Sedikit merasa tersudut diketerasingan asumsi, namun bercerita banyak untuk sebuah pengalaman saya dalam membaca ruang karya.
Tulisan ini sebelumnya saya muat di facebook Mbah Dinan pada tanggal 28 April 2019. Akhirnya saya posting di blog ini sebagai apresiasi saya terhadap kawan-kawan Teater Forum ISBI Bandung. Salam sahabat dan salute buat pementasan kalian. 
Teater Forum ISBI Bandung masuk dalam koridor teks dibalik teks. Artinya ada sebuah teater dalam teater. Mungkin konsep ini gila, namun suatu konsep avangarde yang menyuguhkan pola pikir tanpa batasan pakem. Bahkan suatu keniscayaan menolak unity antara timur dan barat dapat diruntuhkan dalam penyajiannya. Bentuk lenongan, realis, dan surealis yang dikemas dalam ruang karya, telah memberikan suatu alasan, bahwa bisa saja penyatuan itu terjadi. Bahkan sangat bisa... yah teramat bisa.

Pada dasarnya penyatuan itu adalah mendamaikan entitas perbedaan antara konsep, bentuk, dan pola berpikir seorang sutradara ketika menggarap sebuah karya. Melalui kewajaran dan mewajarkan entitas pola garap inilah lahir keselarasan. Walau sebagian orang akan menolak penyesuaian, namun faktanya itulah sebuah keniscayaan yang membuat sajian “WANTED” menjadi mesra dalam ruang pertunjukannya. Sebuah sajian kontradiktif namun mesra dalam keutuhan penyajiannya.

Bahasa poster yang menonjolkan KUMIS TEBAL menjawab, bahwa sebuah sajian adakalanya tidak memerlukan bahasa ketersambungan. Kadang ini hanya sebuah kamuflase yang sengaja dihidupkan untuk membaca naskah lebih lanjut. Kadang ini juga sebuah pancingan agar kita digiring dalam ruang khayal dan menuntun kita untuk menghabiskan waktu, duduk diam, berpikir, lalu membaca ketersambungan dengan sudut pandang kita yang jauh berbeda.

Kesimpulannya, bukan masalah puas atau tidak puas, namun sebuah kenyamanan yang harus kita sepakati bahwa ada pesan liar dalam sebuah pertunjukan. Bukan hanya sekedar KUMIS dan bukan pula LAKON. Namun dia berbicara tentang fakta seniman dan kenakalannya dalam karya. Fakta panggungnya adalah adegan cinta, kepalsuan, dan kisah orang yang diburu. Semua sudah disetting oleh sutradara untuk mengungkap fakta panggung sebenarnya. Itulah yang kita kejar dan kita cari selama ini. Itulah bahasa berbeda untuk memuaskan rasa kehausan kita pada wacana konsep dalam memaknai sebuah pertunjukan.

Dialektika Tubuh : Tubuhku dan Tubuhmu

Pertunjukan Teater Forum adalah Avant Garde di panggung Taman Budaya Kalbar. Sebuah eksperimentasi karya yang inovatif untuk penghormatan kepada seni, kultur, dan sosial masyarakat. Sebuah cerita yang menunjukkan perlawanan terhadap batas-batas apa yang diterima sebagai norma dalam suatu konsep pemikiran.

Ketertarikan saya pada dialogis antar adegan dikemas menggelitik oleh sutradara. Dialog antar tubuh para pemain membuat cerita tersendiri dalam cerita panggung Teater Forum. Inilah yang saya maksud ada cerita dalam cerita, ada bahasa lain yang dibalut dalam satu nada menuju ruang kesatuan (unity). Jalinan gerak tubuh itu sudah bercerita sebelum mereka bersuara, bahkan mengantar kita pada suatu pemahaman dalam tafsir berbeda.Saya yakin, saya dan banyak penonton pasti bingung ketika melihat alur maju mundur, seperti tak beraturan. Namun setelah sesi dialog, saya mendapatkan jawaban. Untuk membaca sebuah karya tidak memerlukan ketersambungan. Sebuah alasan cukup untuk menjawab itu semua.

Bahasa tubuh (dialogis adegan tanpa suara) saya anggap sudah musik, bahkan sebelum musik itu dimainkan sebagai iringan WANTED. Musik yang bagi saya terlalu sederhana, musik yang terkesan asal dimainkan, dan terkesan melawan pakem dari sebuah tradisi, ternyata adalah jawaban mutlak dari pola pikir saya selama ini. Selama ini saya selalu mencari ketersambungan, selalu memberi alasan intelektualis yang ujung-ujungnya menyudutkan saya dalam sensitifitas kekonyolan asumsi.
Membaca Dialektika Tubuh

Musik yang Cerdas

Ketika menyaksikan WANTED saya disadarkan, bahwa ketersambungan dialogis sebuah karya bukan hanya pada teks naratif, namun juga bahasa tubuh seluruh pemainnya. Jujur saya menikmati sajian itu dan dari situ saya sadar, ternyata dibalik terlalu sederhanya sebuah musik iringan Teater Forum Bandung itu, ternyata itulah musik yang cerdas. Yah… musik yang tidak arogan ketika ditempatkan dalam sebuah karya. Musik yang tidak angkuh, yang kebanyakan malah mematikan adegan dalam teater itu sendiri. Itulah musik sederhana, namun cerdas. Kenapa? Karena musiknya tunduk pada keinginan karya itu sendiri. Ingat ya kawan-kawan, membuat musik sederhana itu sebenarnya susah dibanding membuat musik rumit yang akademis kalau anda memahaminya.

Musik, dialog, adegan, dan bahasa tubuh mereka adalah sebuah kesatuan yang tidak perlu mencari alasan ketersambungan dengan asumsi penonton. Namun mereka sudah menyuguhkan sebuah cerita untuk kita baca dan dijadikan rujukan pemikiran dalam berkarya. Terutama untuk kawan-kawan seniman, baik itu tari, musik, bahkan teaterawan Pontianak. Yang jelas mereka sudah memberikan cerita baru untuk kita baca dan membawanya dalam dialog karya berbeda. apapun perbedaan indra dan pemikiran kita, yang jelas mereka sudah memberi suatu hal baru untuk kita bacakan dalam karya kita masing-masing. Termasuk dalam memaknai karya, apapun bentuknya.

Terima kasih untuk kawan-kawan Teater Forum ISBI Bandung yang sudah berbagi pengalaman panggung kepada kami di Pontianak. Terima kasih kepada kawan-kawan pendukung dan bagian belakang panggung, termasuk juga manusia yang banyak bermain diruang gelap-gelapan. Terima kasih untuk kepala Taman Budaya KristianOes Kalibara Tato, Terma kasih juga untuk Kusmindari Triwati yang sudah mensupport pementasan teater ini. Tidak lupa terima kasih juga untuk Budi Kktopeng yang selalu memberi celetukan nakal untuk saya bawa dalam karya. Terima kasih kepada sahabat saya Feredico Vhony yang matanya hilang ketika senyum saat bermain sape. Kalian memang luar biasa.
-----------------
Pontianak, 28 April 2019
Taman Budaya Prov. Kalimantan Barat
by Mbah Dinan
Mau beli alat musik Dayak Kalimantan?
LIHAT ALAT MUSIK DAYAK
Hubungi Admin: 0811 5686 886.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar